NamanyaAbdurrahman al-Baghdadi datang ke Indonesia tepatnya ke Bogor sekitar tahun 1982. Orang Lebanon. Ia dititipkan oleh orang tuanya, Syaikh Nasir, kepada sahabatnya K.H. Abdullah bin Nuh untuk belajar. Perjumpaan K.H. Abdullah bin Nuh dengan Syaikh Nasir terjadi di Australia, ketika K.H. Abdullah bin Nuh menjenguk anaknya di sana. K.H. Abdullah bin Nuh sosok ulama []– Hizbut Tahrir telah resmi dibubarkan oleh pemerintah melalui Perppu Ormas No. 02 Tahun 2017. Organisasi politik itu telah terbukti menentang ideologi Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Namun meski demikian, ideologinya tidak bisa hilang begitu saja. Keahlian para eks tokoh HTI dalam berkamuflase tetap membuat mereka membuat gaduh di tengah masyarakat, meski tak lagi memiliki badan hukum. Zuly Qodir menyebut, organisasi yang hendak merampas kekuasaan dengan menjual nama syariah itu telah menyebar ke organ-organ ormas lain, seperti NU, Muhammadiyah, masjid-masjid kampus, dan jamaah-jamaah di kampung. Salah satu buktinya menurutnya, dalam salah satu Muktamar Muhammadiyah, salah seorang ketua HTI yang menjadi peserta Muktamar dari Jakarta, menjelek-jelekkan pemuda Muhammadiyah yang bergabung dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah. Di balik pengatasnamaan agama oleh tokoh-tokoh HTI, ternyata banyak hal yang disimpangkan oleh HTI. Akidah dan ajaran Islam banyak diselewengkan oleh pengusung khilafah ini. Yang paling kentara dari penyimpangannya adalah, untuk mendukung misi politisnya, mereke menggunakan pemahaman syar’i meski bertentangan dengan pendapat masyhurnya ulama. Misalnya, mereka meminta agar kaum muslimin berijtihad dalam mengkaji syariat secara terus-menerus. Meski terjadi ambivalensi, satu sisi mereka kampanye syariat kaffah. Di sisi lain mereka berijtihad dengan pemikiranny. HTI juga melakukan penyimpanan, dengan menolak ijma’ kecuali ijma sahabat dan juga menolak illat alasan rasional sebagai basis analogi/qiyas. Beberapa publikasi HTI guna mengkampanyekan penyimpangan ajaran Islam antara lain; At-Takattu al-Hizb formasi partai, Al-Syakhsiyyah al-Islamiyyah cara hidup sesuai Islam, Nudhom al-Islam aturan Islam, Mafahim Hizbut Tahrir konsep-konsep organisasi pembebasan, Nazharat Siyasiyah Lil Hizbut Tahrir refleksi politis organisasi pembebasan, Kaifa Hudimat al-Khilafah bagaimana khilafah dihancurkan, dan lain sebagainya. Salah satu bukti penyimpangan akidah HT, dalam kitab As-Syakhsiyah al-Islamiyah juz 1 halaman 71-72 dikatakan, “semua perbuatan manusia tidak ada campur tangan Allah qadhanya Allah sehingga mereka bebas untuk menentukan kemauan dan keinginannya sendiri. Pada halaman ke 74 di dalam kitab yang sama, HT juga menyimpangkan akidah dengan berujar, “mengaitkan pahala atau siksa Allah dengan hidayah atau kesesatan menunjukkan bahwa hidayah atau kesesatan adalah perbuatan manusia sendiri, bukan dari Allah SWT”. HT pada posisi ini menolak teori qadha dan qadar yang diyakini oleh ulama masyhur Ahlussunah wal Jama’ah. Ditegaskan oleh Sheikh Muhammad Abdul al-Syi’bi, salah seorang ulama Ahlussunah wal Jama’ah, bahwa pendiri Hizbut Tahrir, Taqiyuddin an-Nabhani, telah mengaku-ngaku sebagai Mujtahid mutlak. Ia juga telah menyelewengkan ayat-ayat Al-Qur’an, hadis, dan menolak ijma’. Penegasan ini semakin membuktikan bahwa Hizbut Tahrir memang bukan gerakan keagamaan, bahkan bukan mengkampanyekan syariat Islam yang sebenarnya, akan tetapi murni politik untuk mencari kekuasaan. Dikutip oleh Zuly Qodir dalam buku “PKS dan HTI Menuai Kritik”, HTI juga tercatat telah nerfatwa tentang pergaulan yang bertentangan dengan konsep akhlak-akhlak mulia Makarim al-Akhlak. Dalam salah satu edaranfatwanya, di tahun 1960 mereka menulis, “Tidak haram hukummya berjalan dengan tujuan akan berzina atau berbuat mesum dengan seseorang. Yang tergolong kemaksiatan hanyalah perbuatannya zinanya”. Padahal, QS. Al-Isra ayat 32 secara sarih menyebut larangan untuk mendekati zina. Dan, masyhurnya ulama Ahlussunah wal Jama’ah menegaskan, segala perbuatan yang mendekati pada zina adalah haram. Dalam hal ini maka termasuk langkah atau jalan untuk menuju perbuatan yang dilarang agama tersebut. Selanjutnya, dalam edaran fatwa Hizbut Tahrir tergenggam 14 Rabiul Awal 1390 H, para pemimpin Hizbut Tahrir menghalalkan perbuatan berciuman meskipun disertai dengan syahwat. Sedangkan dalam edaran fatwa tanggal 8 Muharram 1390 H, dikatakan bahwa barang siapa mencium orang yang baru datang dari bepergian, baik laki-laki atau perempuan, walau tidak untuk melakukan zina, maka hukumnya adalah halal. Betapa mengerikannya penyimpangan Hizbut Tahrir atas ajaran Islam. Tidak hanya menyimpang dari mayoritas ulama, tetapi juga dengan Al-Qur’an. Mereka terlalu ceroboh memahami Islam, menganggap enteng, sehingga siapapun dari pemimpinnya yang melakukan ijtihad dianggap Mujtahid Mutlaq, sehingga pendapatannya itu tak boleh menurutnya dikritisi, walau bertentangan dengan akidah. Sebagai bangsa Indonesia yang menganut ajaran Islam mazhab Ahlussunah wal Jama’ah kita semua perlu sadar akan bahaya HIzbut Tahrir/HTI. Bahayanya bukan hanya akan merekam persendian bangsa yang akan digerogoti ideologinya dengan khilafah, akan tetapi juga merusak keimanan dan akidah umat secara ideologis. Penyimpangan ajaran dan akidah Hizbut Tahrir tak bisa dibiarkan merambah ke masyarakat. Harus dibendung dengan cara mewaspadai secara seksama gerakan dan pemahaman yang mencurigakan, baik di organisasi-organisasi, kampus-kampus, maupun pengajian umum. Penyimpanan ajaran dan akidah Hizbut Tahrir hanya akan membuat keimanan seseorang keropos tanpa pahala. Next Post Budaya Ghazwah Harga Mati Menolak Khilafah, Takbir! Rab Okt 20 , 2021 – Mau atau tidak mau, seluruh rakyat Indonesia harus satu suara dan harga mati menolak khilafah. Di samping karena ormas pengasong khilafah sudah tidak lagi memiliki legalitas sah di Indonesia, juga karena tidak ada satu buktipun negara di dunia yang berhasil menerapkan khilafah. Klaim bahwa khilafah akan memberikan kesejahteraan […] Breaking News
Merekasudah tua-tua. Mereka menyaksikan sendiri, bagaimana Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia dengan cara-cara yang tidak baik.
ArticlePDF Available AbstractThis study discuss the views of Hizbut Tahrir Indonesia HTI regarding religious pluralism. HTI as an organization that is sincere in interpreting the Qur'an literally and firmly rejects religious pluralism, which many people agree on as a concept that must be applied in Indonesia. This is a logical consequence where Indonesia is inhabited by various religions bound by a sense of unity in Pancasila and Bhinneka Tunggal Ika. For HTI, this is a failure of the state to build and maintain the unity that Islam should bind through a single power Khilafah Islamiyah. This concept has been widely criticized by scholars based on two approaches, namely the Qur'an and sociological. Clearly, the Qur'an has acknowledged the existence of pluralism through the existence and truth of the books before the Qur'an, the acknowledgment of prophets and apostles other than the 25 people, as well as the acknowledgment of the Qur'an for the existence of other religions. HTI's rejection of pluralism was also refuted by HTI's own inconsistencies as the attitude of rejecting globalization but acting as a player of globalization, the attitude of rejecting democracy but taking advantage of the openness of freedom of opinion as a result of democracy, and the attitude of blaming the system of liberalism and secularism as the factors that give rise to deviant religious sects are purely psychological and sociological factors. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. APLIKASIA Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama ISSN 1411-8777 p EISSN 2598-2176 e Volume 21, Nomor 2, 2021 Page 115-136 ONLINE This article is distributed under the terms of the Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike International CC BY-NC-SA ATAS NAMA ISLAM KAJIAN PENOLAKAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA HTI TERHADAP PLURALISME Paelani Setia UIN Sunan Gunung Djati, Bandung setiapaelani66 Abstract - This study discuss the views of Hizbut Tahrir Indonesia HTI regarding religious pluralism. HTI as an organization that is sincere in interpreting the Qur'an literally and firmly rejects religious pluralism, which many people agree on as a concept that must be applied in Indonesia. This is a logical consequence where Indonesia is inhabited by various religions bound by a sense of unity in Pancasila and Bhinneka Tunggal Ika. For HTI, this is a failure of the state to build and maintain the unity that Islam should bind through a single power Khilafah Islamiyah. This concept has been widely criticized by scholars based on two approaches, namely the Qur'an and sociological. Clearly, the Qur'an has acknowledged the existence of pluralism through the existence and truth of the books before the Qur'an, the acknowledgment of prophets and apostles other than the 25 people, as well as the acknowledgment of the Qur'an for the existence of other religions. HTI's rejection of pluralism was also refuted by HTI's own inconsistencies as the attitude of rejecting globalization but acting as a player of globalization, the attitude of rejecting democracy but taking advantage of the openness of freedom of opinion as a result of democracy, and the attitude of blaming the system of liberalism and secularism as the factors that give rise to deviant religious sects are purely psychological and sociological factors. Keyword caliphate, capitalism, HTI, pluralism, secularism. Abstrak - Studi ini membahas tentang pandangan Hizbut Tahrir Indonesia HTI mengenai pluralisme agama. HTI sebagai organisisasi yang kaku dalam menafsirkan Al-Qur’an secara literal dengan tegas menolak pluralisme agama yang justru oleh banyak kalangan disepakati sebagai konsep yang harus diterapkan di Indonesia. Hal tersebut merupakan sebuah konsekuensi logis dimana Indonesia dihuni oleh berbagai agama yang diikat oleh rasa persatuan dalam Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Bagi HTI, hal demikian merupakan kegagalan negara membangun dan memelihara persatuan yang harusnya diikat oleh Islam melalui kekuasaan tunggal Khilafah Islamiyah. Konsep ini banyak dikritik oleh para cendekiawan berdasarkan dua pendekatan yakni Al-Qur’an dan sosiologis. Secara gamblang, Al-Qur’an telah mengakui adanya pluralisme melalui keberadaan dan kebenaran kitab-kitab sebelum Al-Qur'an, pengakuan terhadap nabi dan rasul selain yang berjumlah 25 orang, serta pengakuan Al-Qur'an terhadap adanya agama lain. Penolakan pluralisme oleh HTI juga dibantah dengan sikap-sikap inkonsistensi HTI sendiri, seperti sikap menolak globalisasi namun bertindak sebagai pemain globalisasi, sikap menolak demokrasi namun memanfaatkan terbukanya kebebasan berpendapat akibat demokrasi, dan sikap menyalahkan sistem liberalisme dan sekularisme sebagai faktor yang memunculkan sekte-sekte agama sesat padahal murni disebabkan faktor psikologis dan sosiologis. Kata kunci HTI, kapitalisme, khilafah, pluralisme, sekularisme. Paelani Setia 116 APLIKASIA Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 2, 2021 A. PENDAHULUAN Indonesia sebagai bangsa yang multikultural menghadapi keragaman suku, bahasa, budaya, dan agama. Ini harus dicapai melalui kesadaran multikultural. Hal ini terutama berlaku dalam konteks agama, yang harus menumbuhkan pemahaman agama yang terbuka dan toleran terhadap keragaman yang ada. Inilah momen di mana beberapa organisasi mengajukan konsep pluralisme agama sebagai sarana untuk mencapai perdamaian beragama dalam masyarakat yang beragam Qodir, 2014. Namun gagasan tersebut tidak serta merta direspons secara positif oleh semua pihak. Pro-kontra pun memenuhi ruang publik. Gagasan pluralisme agama yang mengandaikan kesederajatan kebenaran agama-agama telah menimbulkan diskusi yang luar biasa panas di tengah-tengah umat beragama di Indonesia. Satu kelompok yang menonjol menolak gagasan ini adalah Hizbut Tahrir Indonesia HTI. Organisasi transnasional yang sudah berkembang sejak 1980-an ini giat mengkampanyekan pemurnian syariat Islam dengan bercita-cita mendirikan kepemimpinan tunggal Islam Khilafah Islamiyah Osman, 2010b. HTI aktif menolak gagasan pluralisme yang di dukung oleh mayoritas kalangan umat beragama karena menurut mereka hal itu merupakan ikhtiar terbaik dalam menyikapi keberagaman umat beragama di Indonesia Wisnuwardana, 2016. Artikel ini akan membahas bagaimana Hizbut Tahrir Indonesia HTI memaknai pluralisme dan apa saja alasan teoritis mengapa mereka menolak konsep pluralisme. Sementara, mereka menolak pluralisme, di sisi lainnya HTI justru menikmati sistem demokratisasi Indonesia yang salah satu dampaknya secara positif adalah terciptanya pluralisme agama di tengah kehidupan yang multikultural. Hal ini kemudian menjadi bagian dari kritik pada pandangan HTI soal pluralisme. Karenanya, selain akan membahas pandangan dan penolakan HTI akan pluralisme, artikel ini juga akan membahas konsep pluralisme baik dari perspektif Islam Al-Qur’an maupun perspektif sosiologis yang sekaligus menjadi kritik atas penolakan HTI terhadap pluralisme. B. METODE Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan library research yakni penelitian yang menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara menganailis literatur, buku, dokumen, dan berbagai laporan yang tersedia secara digital maupun cetak yang berkaitan dengan tema penelitian Onwuegbuzie et al., 2012. Sementara, analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif yaitu deskriptif-interpretatif. Sumber data pada penelitian ini adalah literatur-literatur yang berkaitan dengan objek penelitian yaitu HTI. Literatur yang digunakan di antaranya kitab-kitab mutabanat HTI karya pendiri HT Taqiyyudin An-Nabhani yakni Nizamul Islam, Takatul Hizbi, Mafahim Hizbut Tahrir, Asy-Syaksiyah Islamiyyah, dan Daulah Islamiyyah. Penulis juga menelaah buku-buku karya pimpinan dan tokoh HTI seperti Ismail Yusanto Islam Ideologi Refleksi Cendikiawan Muda, Felix Siauw Khilafah Remake, Hafidz Aburrahman Meluaskan Dakwah, Menguatkan Ukhuwah di Lembaga Pemerintah, dan Rohkmat S. Labib Tafsir al-Wa’ie. Sumber lainnya adalah pemikiran-pemikiran HTI yang dituangkan dalam media Atas Nama Islam Kajian Penolakan Hizbut Tahrir Indonesia… APLIKASIA Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 2, 2021 117 milik mereka seperti Media Umat, majalah Al-Wa’ie, buletin Kaffah, dan buletin Teman Surga. Selanjutnya, penulis membandingkan literatur pemikiran HTI dengan literatur pemikiran pluralisme dari Nurcholis Madjid dan Amin Abdullah. Penulis juga menelaah literatur-literatur yang mengkritik pemikiran HTI khususnya yang berkaitan dengan pandangan pluralismenya. Dengan demikian penelitian ini membahas tiga tema penting yakni 1 kajian tentang pluralisme agama dan pluralisme Islam, 2 pandangan dan sikap HTI tentang pluralisme, 3 serta kritik akan pandangan pluralisme HTI perspektif Al-Qur’an dan perspektif sosiologis. C. HASIL DAN PEMBAHASAN Pluralisme Berbicara mengenai pluralisme, konsep ini seringkali hanya dipraktekkan oleh segmen minoritas di setiap komunitas agama dan masyarakat pada umumnya. Hal ini karena kelompok-kelompok agama secara keseluruhan mempraktikkan konsep eksklusivisme. Eksklusivisme adalah cara berpikir di mana ide tentang satu kelompok dipandang paling benar, sedangkan kelompok lain dianggap tidak benar. Perspektif ini didasarkan pada klaim kebenaran yang ditemukan di setiap agama Misrawi, 2007. Menurut Misrawi, eksklusivisme meninggalkan jejak suram berupa perang dan konflik. Hal ini terlihat dalam sejarah pertumbuhan agama-agama dunia. Akibatnya, agama telah kehilangan seluk-beluk pencerahan dan kebebasannya karena telah ditentukan oleh konflik dan pertumpahan darah. Pada premis ini, kaum pluralis menolak eksklusivisme agama dan menganjurkan penanaman sikap inklusif oleh semua agama. Zuhairi bahkan mengatakan bahwa inklusivisme itu penting. Bahkan, mutlak atau mengandung pengertian wajib, yaitu perintah yang harus diikuti semua penganut agama Misrawi, 2010. Inklusivisme adalah sistem kepercayaan yang didasarkan pada asumsi bahwa kebenaran tidak hanya ada di dalam komunitas sendiri, tetapi juga di antara organisasi lain, terutama komunitas agama lain. Dalam inklusivisme, penting untuk memiliki sense of the other di mana selalu ada dimensi kesamaan substansi nilai. Artinya, kebenaran dan keselamatan tidak lagi dimonopoli oleh agama tertentu, tetapi telah berkembang menjadi kanopi yang luas yang mencakup semua agama Mulyadi, 2001. Pluralisme adalah tahap lanjutan dari inklusivisme. Pluralisme secara sederhana didefinisikan sebagai sikap menerima keragaman agama. Jika inklusivisme menumbuhkan kesadaran akan yang lain di mana selalu ada unsur kemiripan dalam isi dan nilai, pluralisme memupuk pengakuan akan perbedaan. Pluralisme dipandang sebagai langkah maju dalam praktik dari inklusivisme agama. Namun, inklusivisme dan pluralisme sama-sama mengajarkan bahwa semua agama sama-sama valid Rachman, 2010. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi multiplisitas atau pluralism Munawar-Rachman, 2018. Istilah pluralism berasal dari bahasa Inggris yang berarti banyak atau berlimpah Thoha, 2005. Keberagaman umat manusia adalah fakta yang tak terelakkan yang ditentukan oleh firman Allah dalam surah al-Hujurat/49 13 dan surah al-Rum/30 22 Paelani Setia 118 APLIKASIA Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 2, 2021 “Hai manusia, sesungguhnya Kami Allah telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” QS al-Hujurat/49 13. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi serta berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” QS al-Rum/30 22. Kedua ayat ini menunjukkan bahwa keragaman manusia dalam ras, negara, bahasa, dan warna kulit harus diakui sebagai fakta positif yang menunjukkan keagungan Tuhan Yang Maha Esa kepada orang yang memahaminya. Ada pula penegasan tentang kemajemukan pandangan dan cara hidup manusia yang dijadikan sebagai titik tolak untuk berlomba-lomba dalam kebaikan fastabiqul khairat. Makanya, Allah SWT-lah yang akan menjelaskan mengapa manusia berbeda di kemudian hari, ketika manusia kembali ke keharibaan-Nya. “… Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” QS al-Maidah/5 48. Karenanya, ayat tersebut bisa disimpulkan bahwa jika Allah Swt menginginkan kesatuan pandangan dan cara hidup di antara manusia, maka Allah akan menciptakan manusia sama seperti hewan, tumbuhan, atau benda mati yang tidak memiliki kemampuan untuk memilih, karena hanya dengan begitu mereka semua akan mengadopsi sudut pandang yang sama. Menurut Madjid, Islam tidak bertentangan dengan pluralisme karena Islam menghendaki adanya hubungan perbedaan dengan umat lainnya Madjid, 1992. Hubungan ini didasarkan pada semangat manusia dan universalitas Islam. Karena dalam hal ini, Islam adalah agama kemanusiaan fitrah. Nilai-nilai Islam sejalan dengan aspirasi universal umat manusia. Termasuk, tugas Nabi Muhammad Saw adalah menunjukkan kasih sayang kepada seluruh alam rahmatan li al-'alamin. Atau, tidak hanya untuk kemaslahatan umat Islam semata. 1. Pluralisme Intern Islam Menurut Madjid 1988, pluralisme internal Islam berbeda dengan pemahaman Islam sebagai agama formal dan hubungannya dengan pemeluknya Muslim. Islam telah berkembang sebagai masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai klan, suku, dan kebangsaan sejak zaman Madinah. Pluralitas internal Islam bukan disebabkan oleh masalah mendasar seperti agama dan ketaqwaan, tetapi oleh perbedaan sejarah antara setiap orang dan kelompok orang komunitas. Misalnya, tidak dapat diabaikan adanya sisa-sisa pengaruh negatif seperti faktor keturunan, kedaerahan, dan pengaruh sosial budaya lainnya. Ketika Nabi Muhammad bersama para sahabat Atas Nama Islam Kajian Penolakan Hizbut Tahrir Indonesia… APLIKASIA Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 2, 2021 119 dan terjadi perselisihan di antara mereka, Nabi menanganinya sesuai dengan perintah Allah Swt yang diterima oleh para sahabat karena Nabi Muhammad dianggap oleh mereka sebagai pembawa otoritas agama Islam. Namun, setelah beliau tiada, tidak ada lagi otoritas keagamaan Islam kecuali yang bersumber dari Al-Qur'an dan Al-Hadits, itupun hanya atas dasar tafsir dan ijtihad para sahabat. Dengan demikian, sisa-sisa primordial dibangkitkan. Sejarah para sahabat Nabi Muhammad menunjukkan bahwa sumber pertengkaran di antara mereka pada awalnya adalah masalah politik tanpa nuansa agama Madjid, 1988. Kelompok-kelompok politik pada akhirnya memiliki corak keagamaan, dan kelompok-kelompok terbentuk sebagai akibat dari perbedaan penafsiran mereka terhadap ajaran agama. Keinginan untuk mencari pembenaran agama atas pandangan dan praktik politik mereka telah mengakibatkan menjamurnya mazhab-mazhab agama yang seringkali bertentangan satu sama lain, yakni Syi'ah, Umawi, Sunni, Khawarij, Mu'tazilah, Qadariyyah, dan Jabbariyah Madjid, 2004. Di sisi lain, melalui keteladanan dan perjuangan beberapa sahabat Nabi, Islam dengan cepat menyebar ke berbagai wilayah di dunia, menghadapi berbagai budaya dan lingkungan sosial yang berbeda dari tempat di mana Islam diturunkan. Bahkan, Islam dimanifestasikan dalam berbagai latar belakang budaya yang terkadang mencerminkan nilai-nilai Islam yang bertentangan dengan nilai budaya sutau wilayah tertentu. Mengantisipasi perbedaan pendapat tersebut agar tidak terjerumus dalam konflik-konflik, Madjid berpendapat bahwa ukhuwah Islamiyah harus dibangun kembali. “Ukhuwah Islamiyah adalah formula untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi umat Islam di mana pun saat ini. Selain itu, ada banyak jenis krisis yang mempengaruhi umat Islam di seluruh dunia yang konsisten dengan fakta bahwa Islam adalah agama yang paling cepat berkembang dan paling populer di dunia. Jika dilihat dari kacamata ajaran agama, persaudaraan yang dilandasi iman adalah penting yang dapat dimengerti karena dianggap sebagai obat bagi banyak penyakit manusia” Majid, 2000. Madjid mengacu pada ukhuwah Islamiyyah, yaitu ukhuwah persaudaraan berdasarkan agama. Menurut Ahmad Siddiq, persaudaraan ini muncul dan berkembang sebagai akibat dari persamaan agama atau tauhid di tingkat nasional atau dunia Qomar, 2002. Quraish Shihab menyebutnya sebagai ukhuwwah fi din al-Islam persekutuan antar umat Islam Moh Quraish Shihab, 1998. Allah SWT berfirman “Sesungguhnya orang-orang Mu’min adalah bersaudara, maka karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah agar supaya kamu mendapat rahmati.” QS al-Hujurat/49 10-11. Allah SWT dan Rasul-Nya, Muhammad SAW, mengamanatkan ukhuwah Islamiyyah karena kesadaran bahwa fitrah manusia berbeda menurut sunnatullah. Demikian pula, Islam sangat rentan terhadap perbedaan pendapat. Dengan demikian, menurut Madjid, persaudaraan yang dilandasi agama harus ditimbang sesuai dengan ajaran Kitab Suci dan Sunnah Nabi Muhammad. Sudut pandang ini tepat untuk melawan narasi atau keyakinan yang keliru bahwa ukhuwah Islamiyyah tidak akan tercapai sampai semua Muslim menjadi identik dan monolitik dalam segala Paelani Setia 120 APLIKASIA Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 2, 2021 hal Majid, 2000. Dengan demikian, wajar jika ajaran Tuhan tentang persaudaraan berbasis iman diberikan dalam konteks pluralitas kemajemukan, bukan singularitas monolitik. Karena aturan pembedaan yang ditetapkan Allah bagi umat manusia juga berlaku bagi uamt agama lainnya, maka bagaimanapun umat beriman beragam dalam hal asal-usul biografis, sosial, dan budaya. Perbedaan antara manusia yang diterima tanpa menimbulkan konflik adalah anugerah Tuhan yang memberikan kebahagiaan, sedangkan yang diterima dengan perselisihan/permusuhan menjadi landasan kesedihan. Untuk melaksanakan dan melestarikan ukhuwah Islamiyyah sesuai dengan Kitab Suci, Madjid menawarkan banyak resep, antara lain sebagai berikut Majid, 2000 Pertama, menghindari sikap absolutis dengan menghargai relativitas kebenaran agama, karena Allah Swt memiliki kebenaran sepenuhnya. Hal ini berlaku untuk masalah agama yang sifatnya insidental. Perbedaan pengetahuan atau perilaku tentang masalah-masalah kecil dalam Islam, berapa pun besarnya tidak boleh menjadi sumber perselisihan umat Islam. Kedua, harus menjaga hubungan terbuka dengan umat Islam lainnya, terlepas dari seberapa signifikan perbedaan dalam pengetahuan dan perilaku. “Dengan cara ini, ukhuwah Islamiyah membutuhkan sikap terbuka di antara sesama Muslim, seperti yang ditunjukkan oleh Salaf dengan sangat efektif.” Majid, 2000. Sedangkan pola pikir tertutup adalah konsep musuh utama ukhuwwah islamiyyah Majid, 2000. Dengan demikian, setiap Muslim wajib bersikap terbuka dan toleran al-tasamuh satu sama lain dalam rangka menumbuhkan ukhuwwah Islamiyyah, dan sikap tertutup harus dihindari. Ketiga, umat Islam harus menghayati dan memenuhi perintah Allah dalam QS al-Hujurat/4911-12, yaitu jangan mengejek, jangan mencela, jangan menyeru dengan seruan jahat, hindari bias negatif, tidak mencari-cari kekurangan, dan tidak membicarakan gosip di kalangan umat Islam Majid, 2000. 2. Pluralisme Antar Agama Perbedaan agama atau kepercayaan tidak boleh dimanfaatkan untuk menggagalkan manifestasi kasih sayang bagi seluruh alam rahmatan li al-alamin Wahid, 1999. Umat Islam diajarkan untuk menghormati keberadaan pemeluk agama lain. Allah menunjukkan bahwa orang-orang yang beriman, Yahudi, Nasrani, dan Syabi'in, akan memperoleh kebahagiaan selama mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta mengerjakan amal saleh Lihat, Surah al-Baqarah 2 62. Ayat lain menjelaskan bahwa umat Islam dilarang mengutuki sesembahan mereka, karena hal itu akan dibalas dengan perilaku yang sama yakni mengutuki peribadatan umat Islam Allah SWT Lihat, QS al-An'am/6 108. Mengakui keberadaan agama seperti yang didefinisikan oleh Madjid bisa dengan cara memperluas ruang lingkup Ahlul-Kitab untuk memasukkan tidak hanya Yudaisme dan Kristen, tetapi juga Hindu, Buddha, dan lain-lain. Madjid mengklarifikasi dengan mengutip Abdul Hamid Hakim, seorang reformis dari Padang Panjang, Sumatera Barat yang mengatakan sebagai berikut "Ahlul-Kitab tidak hanya mencakup orang Yahudi dan Kristen, tetapi juga Hindu, Buddha, Cina, dan Jepang. Sebab, menurut Abdul Hamid Hakim, mereka adalah penganut sejenis Atas Nama Islam Kajian Penolakan Hizbut Tahrir Indonesia… APLIKASIA Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 2, 2021 121 kitab suci yang memuat ajaran dasar tauhid atau Ketuhanan hingga saat ini. Meskipun benar bahwa mereka akhirnya menyimpang dari monoteistik dan mengubah bagian dari teks suci mereka. Abdul Hamid Hakim mengatakan bahwa ini seharusnya tidak “disalahkan”, karena hal yang sama terjadi pada orang Yahudi dan Kristen, meskipun mereka lahir lebih lambat dari agama India dan Cina” Rashid, 1993. Sikap Madjid tersebut berlandaskan pada Al-Qur'an yang mengatakan bahwa Allah telah mengutus rasul ke setiap umat Lihat, QS Yunus/10 47. Selain itu, disebutkan bahwa di antara para rasul ada yang diberi tahu oleh Allah sementara yang lain tidak Lihat, QS al-Mu'min/40; 78 dan al-Nisa'/4; 164. Namun, karena orang Arab sudah mengenal Yudaisme, Nasrani, Syabi'in, dan Majusi, dan orang Arab belum mengenal agama India dan Cina, maka tidak perlu menyebut mereka terasing sebagai kelompok yang tidak dikenal saat diturunkannya Al-Qur'an Madjid, 1995. Selain pengakuan atas eksistensi agama lain, Islam juga mengajarkan, “Tidak boleh ada paksaan dalam agama”, QS al-Baqarah/2 265. Dari sini dapat dipahami terdapat pandangan yang berbeda dari setiap agama, karena semuanya tak mungkin berada di luar Kehendak Ilahi. Allah Swt menjelaskan bahwa jika Allah menghendaki tentulah manusia di bumi seluruhnya beriman kepada-Nya, tetapi itu tidak dikehendaki-Nya. “Dan jikalau Tuhannya menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”? QS Yunus/10 99. Selain adanya nash al-Qur'an yang dijadikan alasan hujjah untuk perbedaan agama atau keyakinan, pada dasarnya adanya perbedaan yang tidak dipaksakan adalah pemenuhannya sifat manusia dari Allah tentang kebebasan untuk memilih sehingga manifestasinya tumbuh dari dalam, bukan tumbuh—apalagi dipaksa—dari luar. Sikap keagamaan yang dipaksakan dari luar tidak elok karena sikap kesucian atau ketulusan sebagai manusia telah hilang padahal merupakan komponen yang paling mendasar. Selanjutnya, penting untuk mengenali bahwa ekspresi sosiokultural telah bervariasi secara historis. Karenanya, adalah penting untuk berpegang pada semangat al-Qur'an dalam memastikan bahwa fenomena eksternal ini tidak menghalangi upaya untuk membangun fondasi bersama kalimah sawa', titik temu untuk semuanya. Dan, sekalipun bahasa dan rumusan verbal gagasan-gagasan keagamaan berbeda-beda, eksternalisasi agama dalam dimensi manusia dijamin sama Mulyadi, 2001. Dengan demikian, al-Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, paling baik direpresentasikan melalui tindakan kemanusiaan seperti membantu yang membutuhkan dan mempromosikan perdamaian universal. Sayangnya, konsep-konsep universalisme ini tidak disepakati oleh semua Muslim. Masing-masing memiliki pemahaman berbeda tentang bagaimana seharusnya perbedaan dimanifestasikan. Hingga saat ini berbagai kelompok umat Islam lahir dan membawa gagasan berbeda soal pluralisme, terutama kelompok Islam yang getol menolak gagasan tentang pluralisme. Ini misalnya tercermin dari kelompok Hizbut Tahrir. Partai politik internasional ini menjelma sebagai satu dari sekian kelompok yang paling banyak dibicarakan masyarakat dunia, khsususnya umat Muslim. Sebagai Paelani Setia 122 APLIKASIA Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 2, 2021 cita-cita besarnya, Hizbut Tahrir menginginkan terbentuknya sistem kenegaraan tunggal Islam secara baku atau yang biasa mereka sebut Khilafah Islamiyah Osman, 2010b. Agenda utama dari kelompok yang lahir dan tumbuh di Timur Tengah ini adalah menolak gagasan pluralisme yang oleh sebagian besar kalangan sangat didukung sebagai solusi konflik horizontal antar agama. Untuk memperluas penyebaran gagasan, Hizbut Tahrir mentransmisikan ide ke seluruh dunia dan memperoleh empati oleh beberapa umat Muslim untuk mendukungnya. Hal ini juga terjadi di Indonesia. Pada bahasan selanjutnya, akan dikupas kenapa dan bagaimana Hizbut Tahrir Indonesia HTI menolak konsep pluralisme. Sejarah Singkat Hizbut Tahrir Indonesia Hizbut Tahrir atau Hizb—ut Tahrir atau HT berarti Partai Pembebasan adalah gerakan politik pan-Islam yang didedikasikan untuk membentuk kembali kekhalifahan Islam melalui penerapan syariah hukum Islam yang akan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh dunia. Khilafah Islam yang dibayangkan HT akan menyatukan umat Islam Commins, 1991. Hizbut Tahrir didirikan pada tahun 1953 oleh seorang ulama Mesir bernama Taqiyyudin an-Nabhani. An-Nabhani adalah seorang ulama lulusan Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir dan juga pernah menjabat sebagai hakim di Mandatory, Palestina. Sejak dibentuk, Hizbut Tahrir mengidentifikasi diri sebagai gerakan politik internasional Ayoob, 2008. Hizbut Tahrir telah berkembang ke lebih dari 50 negara, dengan perkiraan 1 juta anggota. Ekspansinya dikenal di seluruh Eropa, termasuk Inggris, Asia, Asia Tengah, dan negara-negara Arab, meskipun akhirnya banyak negara-negara sudah melarang operasionalnya Malik, 2004. Hizbut Tahrir telah dilarang di negara-negara seperti Rusia, Jerman, Cina, Mesir, Turki, dan Pakistan, serta di semua negara Arab kecuali Lebanon, Yaman, dan Uni Emirat Arab Brandon, 2006. Pada Juli 2017, pemerintah Indonesia secara resmi mencabut SK Badan Hukum Hizbut Tahrir Indonesia HTI melalui Perpu No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang sekaligus membubarkan organisasi tersebut karena diyakini bertentangan dengan Pancasila Setyawan, 2017. Hizbut Tahrir pertama kali hadir di Indonesia pada tahun 1982 oleh Abdul Rahman al-Baghdadi, seorang aktivis HT Australia. Abdul Rahman al-Baghdadi direlokasi ke Bogor atas permintaan KH Abdullah bin Nuh yang menjabat sebagai pimpinan Pondok Pesantren Al-Ghazali, Bogor Alles, 2016. Semenjak itu, gerakan ini banyak masuk ke kampus-kampus di Indonesia dan mempopulerkan misinya pada kalangan akademisi. Akibatnya, anggota HTI banyak diisi oleh kalangan-kalangan intelektual, khususnya mahasiswa Arifan, 2014. Hizbut Tahrir dengan “klaimnya” telah melakukan studi, penyelidikan, dan analisis tentang kondisi umat Islam saat ini, khususnya berkaitan dengan kemerosotannya. Kemudian membandingkan kemerosotan umat Islam saat ini dengan keadaan yang terjadi sepanjang hidup Nabi Muhammad, Khulafaur-Rasyidin dan Tabiin. Hal inilah yang dijadikan landasan oleh HT ketika ditanya apa yang menjadi referensi dalam cita-cita mereka mendirikan negara Islam. Selain itu, HT juga menganggap telah merujuk pada sirah Nabi Muhammad Saw dalam menjalankan dakwahnya dari fase dakwah Nabi awal-awal hingga ia mendirikan Negara Islam di Madinah. Selain Atas Nama Islam Kajian Penolakan Hizbut Tahrir Indonesia… APLIKASIA Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 2, 2021 123 konteks sejarah, HT juga menganggap telah mengacu pada Kitab Allah, Sunnah Rasul-Nya, dan dua sumber lain yaitu Ijma Sahabat dan Qiyas dalam mewujudkan cita-citanya mendiring kembali kekhilafahan Islam A. R. Al Amin, 2012. Hizbut Tahrir telah memilih dan memutuskan konsep, pandangan, dan hukum tentang fikrah dan tariqah setelah melalui penelitian yang komprehensif. Menurut Hizbut Tahrir, semua pandangan dan peraturan harus berasal dari Islam. Tidak ada seorang pun yang tidak memeluk Islam. Bahkan, tidak boleh apapun jika tidak berasal dari Islam. Hizbut Tahrir telah memilih dan memutuskan konsep, pandangan, dan aturan ini sejalan dengan isu yang dipertaruhkan dalam perjuangannya, yaitu pemulihan kehidupan Islam dan penyebaran Islam ke seluruh dunia melalui pembentukan khilafah dan pengangkatan seorang khalifah. Konsep, pandangan, dan undang-undang tersebut telah disusun menjadi berbagai buku, pamflet, dan selebaran yang telah diproduksi dan didistribusikan kepada public Karagiannis, 2009. Hizbut Tahrir mengkomunikasikan konsep dan hukum yang dipilih dan ditetapkan melalui metode politik. Meskipun demikian, mereka menolak masuk dan berbaur dengan parlemen karena alasan parlemen adalah bagian dari demokrasi yang kufur. Dalam Kitab Asy-Syaksiyah Islamiyyah, HT menyebut bahwa sistem demokrasi yang diturunkan dalam trias politica eksekutif, legislatif, yudikatif adalah sistem kufur yang semuanya berasal dari pikiran manusia. Pikiran manusia identik dengan kesalahan, jadi sangat tidak beralasan jika harus menggunakan konsep berdasar pada pemikiran manusia Taqiyuddin & Al-Islamiyyah, 1996. Secara khusus, mereka mengkomunikasikan semua konsep dan hukum kepada masyarakat sedemikian rupa karena ingin mengimplementasikannya dalam aspek pemerintahan dan kehidupan. Ini merupakan tujuan Hizbut Tahrir sebagai partai politik yang didukung semua anggotanya beragama Islam. Hizbut Tahrir mengadopsi dan menetapkan konsep dan peraturan Islam hanya berdasarkan Al-Qur'an dan as-Sunnah, serta Ijma Sahabat maupun Qiyas. Karena hanya empat referensi hujjah itulah bagi HT yang dapat diidentifikasi dengan pasti, selain bersumber dari keempat tersebut maka tidak benar Osman, 2010a. Salah satu fokus kampanye HTI diarahkan pada penolakan pluralisme yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam karena merupakan buah dari pikiran manusia. Bagi HTI, pluralisme tidak layak dimanifestasikan dari kehidupan karena penggagasnya bukanlah dari Allah dan Islam melainkan dari pikiran-pikiran sekuler. Di bahasan berikutnya akan diulas pandangan dan berbagai alasan kenapa HTI sangat menolak pluralisme. Pandangan Pluralisme HTI Menurut HTI, konsep pluralisme agama muncul karena berbagai alasan yang disebutkan oleh Taqyuddin An-Nabhani 2011, yaitu pertama, HTI meyakini setiap pemeluk agama percaya bahwa gagasan tentang Tuhannyalah adalah yang paling benar dan bahwa agamanyalah jalan yang paling utama menuju keselamatan. Setiap pemeluk agama tertentu juga berpikir bahwa mereka adalah orang-orang pilihan. Menurut HTI, kaum pluralis adalah kelompok yang selalu menuduh bahwa truth claim agama inilah yang sering mengakibatkan kerenggangan, perpecahan, bahkan konflik antar pemeluk agama. Akibatnya, pluralisme diperlukan agar agama tidak lagi memiliki Paelani Setia 124 APLIKASIA Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 2, 2021 wajah eksklusif dan tidak lagi menjadi sumber perselisihan. Namun demikian, bagi HTI truth claim ini bukanlah faktor penyebab konflik karena konflik yang terjadi dalam lintas agama disebabkan oleh faktor politik. Kedua, HTI meyakini bahwa pluralisme dibuat untuk kepentingan ideologis kapitalisme dalam mempertahankan dominasi globalnya. Ini karena seiring dengan lahirnya isu-isu demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan, serta perdamaian dunia, pluralisme agama merupakan konsep yang terus diusung oleh kapitalisme global, khususnya oleh Amerika Serikat dan Barat dengan tujuan untuk menggagalkan pertumbuhan Islam. Dengan demikian, HTI menyimpulkan bahwa alasan pertama di atas dapat dilihat sebagai pendorong berkembangnya konsep pluralisme agama. Namun, alasan utama yang berkontribusi terhadap munculnya pluralisme agama adalah keinginan Barat untuk lebih mengkonsolidasikan dominasi kapitalisnya, khususnya atas dunia Islam. Menurut Hizbut Tahrir, perselisihan agama tidak disebabkan oleh realitas klaim teologis mereka yang berbeda, melainkan oleh asal-usul ideologis dan politik mereka. Misalnya, perang antara Palestina dan Israel yang telah berlangsung lebih dari setengah abad jelas bukan konflik antaragama Islam, Yudaisme, Kristen. Karena selama berabad-abad, pemeluk agama ini telah hidup berdampingan secara damai di bawah naungan Khilafah Islam. Konflik ini justru bersifat politis, termasuk penjajah Barat yang sengaja ditempatkan di jantung Palestina oleh Inggris untuk melemahkan umat Islam, khususnya di Timur Tengah. Bahkan posisi Inggris dalam perang ini telah digantikan oleh AS yang memiliki tujuan yang sama Taqiyuddin An-Nabhani, 1996. Hizbut Tahrir mendefinisikan pluralisme sebagai hasil dari dua alasan tersebut yang menyebabkan pluralisme agama memperoleh banyak dukungan dari berbagai kelompok agama. Dan inilah inti dari ide pluralisme agama yang sekarang sedang dipromosikan di seluruh dunia Islam melalui berbagai metode dan media. Konsep ini melahirkan konsep-konsep lain, seperti wacana lintas agama, do’a bersama, dan sebagainya Fatmawati et al., 2020. Di kancah politik, HTI berpendapat bahwa ide pluralisme didukung oleh kebijakan pemerintah dengan alasan bagian dari hak asasi manusia dan cita-cita demokrasi. Negara menjamin bahwa setiap warga negara berhak memeluk agama, berpindah keyakinan murtad, atau mendirikan agama baru. Konsep pluralisme berasal dari ideologi kapitalisme sebagai hasil dari cara pandang Barat terhadap masyarakat. Menurut Barat, masyarakat terdiri dari orang-orang dengan berbagai ide, perspektif, minat, leluhur, dan keinginan. Akibatnya, Barat percaya bahwa berbagai kelompok harus ada di dalam masyarakat. Setiap kelompok memiliki tujuan dan sasarannya sendiri yang harus diwujudkan dalam sebuah partai, gerakan, atau organisasi. Dan masing-masing partai, gerakan atau kelompok ini harus diakui keberadaannya dan diperbolehkan melakukan aktivitas politik. Dengan demikian, pluralisme dalam konsep kapitalisme adalah kebalikan dari gagasan tentang satu kelompok atau partai tunggal. Pluralisme inilah yang harus diakomodasi dalam struktur sistem politik kapitalisme. Akibatnya, dalam masyarakat kapitalis, tidak ada ruang bagi organisasi yang tidak menganut ideologi kapitalisme atau yang ingin merusak sistem kapitalis saat ini. Atas Nama Islam Kajian Penolakan Hizbut Tahrir Indonesia… APLIKASIA Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 2, 2021 125 HTI sebenarnya juga menyadari kemajemukan partai yang diorganisir di sekitar satu akidah atau sistem politik. Hanya saja ini bukan pluralitas yang dianut oleh kapitalis. HTI mengakui keberagaman partai dan gerakan yang berbeda selama tetap berlandaskan akidah Islamiyah. Islam, di sisi lain, tidak mengizinkan pembentukan partai politik atau gerakan yang didedikasikan untuk penghancuran sistem politik Islam sendiri. Dengan demikian, pendirian suatu partai atau gerakan dapat diterima sepanjang berpedoman pada prinsip-prinsip Islam, yaitu yang bersumber dari akidah Islam Taqiyudin An-Nabhani, 2004. HTI menentang pluralitas dalam arti kapitalisme yang diusung oleh Amerika dan Barat yang pada umumnya berarti pluralisme. Hal ini karena bagi HTI pluralisme lahir dari kredo kapitalisme. Menurut konsep pluralisme, ideologi kapitalisme diperbolehkan untuk membuat partai atau gerakan yang mempromosikan aqidah kufur, seperti pemisahan agama dan kehidupan sekularisme. Pluralisme juga memungkinkan adanya partai-partai yang menganut nilai-nilai yang dilarang oleh Islam, seperti nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme Arifan, 2014. Akibatnya, HTI berpendapat bahwa seorang Muslim harus menentang pluralisme sepenuhnya, baik pluralisme agama maupun pluralisme politik. Karena merangkul pluralisme berarti membela kekufuran dan segala sesuatu yang dilarang Allah. Pluralisme adalah sebuah konsep yang tidak akan pernah dipeluk oleh seorang mukmin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, karena ia tahu bahwa Allah akan menghukum semua orang yang tidak beriman dan segala sesuatu yang dilarang Allah di akhirat Taqiyudin An-Nabhani, 2004. Selain itu, pluralisme menurut HTI mengandung risiko yang mengancam umat Islam Taqiyuddin An-Nabhani, 2008. Risiko pertama adalah identitas agama Islam perlahan-lahan akan dilenyapkan. Misalnya, definisi jihad yang didefinisikan syar'i sebagai perang melawan orang-orang kafir yang menjadi penghalang dakwah menjadi dikebiri hanya sebagai usaha yang sungguh-sungguh. Kemudian contoh lainnya jilbab hijab yang perlahan mulai tidak dianjurkan bagi wanita Muslim dalam kehidupan publik dan jelas-jelas untuk "melindungi ranah publik sekuler dari gangguan agama." Selain itu, penerapan syariat Islam di berbagai wilayah pada akhirnya dihindari karena dianggap berbahaya bagi pluralitas. Singkatnya, pluralisme agama menegaskan kembali legitimasi sekularisme pemisahan agama dari kehidupan. Risiko kedua, pluralisme agama selalu mengacu pada perkembangan kepercayaan baru yang berasal dari agama-agama saat ini. Berkembangnya sejumlah aliran sesat di tanah air seperti Ahmadiyah pimpinan Mirza Ghulam Ahmad, Jamaah Salamullah pimpinan Lia Eden, dan al-Qiyadah al-Islamiyah pimpinan Ahmad Mosadeq adalah berbagai contohnya. Sayangnya, atas dasar pluralitas, para pendukung pluralisme agama menentang pelarangan aliran-aliran yang berbeda ini, meskipun hal itu merupakan penistaan terhadap Islam. Terakhir, risiko ketiga adalah karena isu globalisasi, keragaman agama tidak dapat dipisahkan dari tujuan penjajahan Barat. Globalisasi merupakan upaya penjajah Barat untuk mengglobalkan cita-cita kapitalisme mereka, terutama konsep pluralitas agama sebagai “agama baru”. Jadi, jika orang-orang mau mendukung keragaman agama, maka mereka harus juga merangkul kapitalisme. Ini hanyalah beberapa dari ancaman yang telah terjadi dan terus mengancam Paelani Setia 126 APLIKASIA Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 2, 2021 umat Islam saat ini yang hampir satu abad setelah umat Islam kehilangan kekhalifahan Islam. Sedangkan khilafah adalah kepemimpinan kolektif umat Islam yang mengamalkan Islam, menjaga agama Islam, dan mempertahankan keagungan Islam dari berbagai serangan, termasuk pluralism Taqiyuddin An-Nabhani, 2008. Selanjutnya, HTI mengklaim bahwa pluralisme tidak ada di dalam Al-Quran. Padahal sejatinya menurut HTI, tentu saja jalur apapun yang dipilih harus selalu mengacu pada ajaran Al-Qur'an, termasuk gagasan pluralisme agama. Konteks ini berbeda dengan sebagian pendukung pluralisme di Indonesia yang mengatakan bahwa surat Al-Baqarah ayat 62 menunjukkan penerimaan Islam terhadap pluralitas. “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati”. Hal ini berbeda dengan penegasan Hizbut Tahrir bahwa ayat ini tidak ada hubungannya dengan pluralism agama lain yang ada saat ini. Ayat tersebut berisi tentang orang-orang yang datang sebelum Nabi Muhammad diutus. Ayat ini juga menunjukkan bahwa generasi manusia masa lalu, termasuk Yahudi, Kristen, dan Syabian yang tidak menganut ajaran Islam dan Rasul-Nya akan mendapatkan balasan dari Allah swt. Ayat di atas tidak menyiratkan bahwa pengikut agama lain saat ini memiliki kesempatan yang sama untuk bergabung dengan surga-Nya seperti halnya Muslim. Karena Al-Qur'an dan Sunnah secara eksplisit menyatakan bahwa setelah datangnya Nabi Muhammad, semua manusia diwajibkan untuk meninggalkan agama mereka. Bahkan Islam telah menjelaskan kesesatan dan ketidakpercayaan semua agama kontemporer, termasuk Yudaisme, Kristen, dan agama politeistik seperti Buddha, Hindu, Konghucu, dan lain-lain Taqiyudin An-Nabhani, 2004. Menurut an-Nabhani, QS al-Baqarah ayat 62 turun berkenaan dengan cerita sahabat Nabi Salman al-Farisi tatkala ia menceritakan sahabatnya para pendeta kepada Nabi Saw tentang kebaikan-kebaikan mereka. Tatkala Salman selesai memuji para sahabatnya itu, Nabi Saw bersabda, “Salman, mereka termasuk ke dalam penduduk neraka.” Selanjutnya Allah Swt menurunkan ayat ini QS al-Baqarah 62. Lalu hal ini menjadi keimanan orang-orang Yahudi yaitu, siapa saja yang berpegang teguh terhadap Taurat serta perilaku Musa as hingga datangnya Isa as maka ia selamat. Ketika Isa as telah diangkat menjadi nabi, maka siapa saja yang tetap berpegang teguh pada Taurat dan mengambil perilaku Musa as, namun tidak memeluk agama Isa as, dan tidak mau mengikuti Isa as, maka ia akan binasa. Demikian pula orang Nasrani, siapa saja yang berpegang teguh pada Injil dan syariat Isa as hingga datangnya Muhammad Saw, maka ia adalah orang Mukmin yang amal perbuatannya diterima oleh Allah Swt. Padahal, setelah Muhammad Saw datang, siapa saja yang tidak mengikuti Nabi Muhammad Saw dan tetap beribadah seperti perilaku Isa as dan Injil maka ia akan mengalami kebinasaan” Taqiyudin An-Nabhani, 2004. Atas Nama Islam Kajian Penolakan Hizbut Tahrir Indonesia… APLIKASIA Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 2, 2021 127 Sikap HTI dalam menyikapi kemajemukan di Indonesia Kemajemukan pluralitas adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat dinafikan. HTI membenarkan itu, begitu pula yang ada di Indonesia. Akan tetapi, bagi HTI kemajemukan yang identik dengan pluralisme adalah kesalahan besar. Padahal Al-Qur’an pun menyatakan dengan jelas tentang keniscayaan kemajemukan yaitu dalam surah al-Hujurat 13, Allah Swt berfirman yang artinya “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertaqwa di sisi Allah”. Indonesia adalah negara yang mempunyai semboyan Bhineka Tunggal Ika dimana di dalamnya tidak hanya terdapat kemajemukan dalam hal agama saja, tetapi terdapat kemajemukan dalam hal politik dan budaya. Lantas, bagaimana sikap HTI dalam menyikapi semua itu? Dalam menyikapi kemajemukan beragama, HTI berpendapat hanya Islam agama yang benar sebagaimana dalam surah Ali-Imran 185. Akan tetapi, Islam tidak memaksa orang lain untuk masuk Islam, dalam artian Islam hanya mengakui identitas agama mereka. Sedangkan dalam menyikapi kemajemukan politik dan budaya, HTI hanya mengakui kemajemukan politik selama kemajemukan itu berasaskan Islam, dalam arti HTI tidak mengakui partai politik seperti partai yang berasaskan nasionalisme dan kebangsaan. Dan dalam menyikapi kemajemukan budaya tidak ada masalahbagi HTI selagi kebudayaan itu tidak menyimpang dari syariat Islam. “Pada dasarnya, umat manusia diciptakan Allah Swt dengan asal-usul yang sama, yakni keturunan Nabi Adam as. Tendensinya, agar manusia tidak membangga-banggakan nenek moyang mereka. Kemudian Allah Swt menjadikan mereka bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar mereka saling mengenal dan bersatu, bukan untuk bermusuhan dan berselisih. Mujahid berkata, “Agar manusia mengetahui nasabnya; sehingga bisa dikatakan bahwa si fulan bin fulan dari kabilah anu‟. Syekh Zadah berkata, “Hikmah dijadikannya kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar satu dengan yang lain mengetahui nasabnya. Sehingga, mereka tidak menasabkan kepada yang lain. Akan tetapi, semua itu tidak ada yang lebih agung dan mulia kecuali keimanan dan ketaqwaannya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Barang siapa menempuhnya ia akan menjadi manusia paling mulia, yakni, bertaqwalah kepada Allah” Taqiyudin An-Nabhani, 2004. Selanjutnya, HTI memaknai surah al-Hujurat 13 hanya menunjukkan bahwa Islam menerima pluralitas keragaman ras, negara, agama, dan lain-lain. Beragam suku, bangsa, bahasa, dan agama hadir secara alami di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Islam di sisi lain, tidak pernah mengajarkan bahwa semua agama sama-sama valid. Islam juga tidak pernah mengajarkan bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, terlepas dari cara mereka menyembah. Memang, Islam menolak klaim kebenaran yang dibuat oleh pengikut agama lain dan mendesak semua umat manusia untuk masuk Islam agar diselamatkan dari siksaan api neraka. Karenanya, terjadinya sebuah Paelani Setia 128 APLIKASIA Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 2, 2021 disharmonisasi dalam komunitas sosial yang majemuk jelas merupakan keniscayaan yang tidak bisa di hindari. Sekarang yang menjadi permasalahannya bagi HTI adalah bagaimana solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan tetap membiarkan klaim kebenaran itu terjadi Taqiyudin An-Nabhani, 2004. Dalam menyelesaikan permasalahan di atas, HTI mempunyai cara untuk menyelesaikan semuanya. Yaitu benturan-benturan itu harus di wadahi dengan cara penggunaan batas-batas non fisik atau bersifat pemikiran intelektual seperti debat akademik untuk menggali kembali konsep Islam dalam berkehidupan Aisyah, 2019. Dengan cara seperti itulah disharmonisasi dalam komunitas yang majemuk bisa diselesaikan tanpa mengarah pada konflik fisik. “Inilah yang di ajarkan oleh Islam. Islam tidak memaksa orang non-muslim untuk memeluk Islam. Orang-orang non-muslim baik ahli kitab maupun musyrik dan sebagainya juga tetap bisa hidup di dalam daulah Islamiyah” Taqiyudin An-Nabhani, 2004. Mereka bebas memeluk keyakinan mereka dan mengklaim kebenaran atas mereka. Hanya saja melalui proses dakwah yang dilakukan secara argumentatif bi al-hikmah dan debat terbuka dengan menampilkan argumen yang lebih unggul, masalah bisa diselesaikan. Dengan cara seperti itu, Islamlah yang akan tampil sebagai satu-satunya paham, agama, dan ideologi yang bisa dibuktikan kebenarannya. Dan pada akhirnya, mereka pun berbondong-bondong memeluk Islam, bukan karena terpaksa tetapi dengan sukarela. Kritik Terhadap Pandangan Pluralisme HTI 1. Kajian Al-Qur’an tentang Pluralisme Sampai saat ini, berbagai kalangan umat beragama tidak terkecuali umat Islam selalu ada kelompok yang menegaskan klaim kebenaran mereka sendiri. Menurut Amin Abdullah, Al-Qur'an jelas menentang dan menolak sikap eksklusif dan klaim kebenaran sepihak yang berlebihan pada tataran normatif dan teologis Abdullah, 1995. Memang benar bahwa QS Ali Imran ayat 85 dapat digunakan secara harfiah untuk menunjukkan perlunya eksklusivitas kelompok. Namun, penting untuk mempertimbangkan ayat sebelumnya Ali Imran ayat 84, yang menekankan perlunya inklusivitas daripada eksklusivitas dalam Islam. Namun, sebagian pengikut agama, termasuk Islam, senang mempertahankan mentalitas eksklusif ini dan klaim kebenaran sepihak yang dilebih-lebihkan. Padahal, setelah kajian yang mendalam, Al-Qur'an sering menegaskan penolakan klaim kebenaran ini. Banyak ayat dalam Al-Qur'an memberikan kesaksian pengakuan Al-Qur'an terhadap pluralisme agama ini Rahman, 2017. Pertama, pengakuan akan keberadaan dan kebenaran kitab-kitab sebelum Islam. Bahkan Taurat dan Injil disebut sebagai petunjuk dan penerangan di dalam Al-Qur'an. Sebagaimana disebutkan di dalam surah Al-Maidah ayat 44 “Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya ada petunjuk dan cahaya, yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerahkan diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka Atas Nama Islam Kajian Penolakan Hizbut Tahrir Indonesia… APLIKASIA Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 2, 2021 129 menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” Kemudian, terdapat juga firman Allah QS. Al-Maidah ayat 46-47 “Dan kami iringkan jejak mereka nabi nabi Bani Israil dengan Isa putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat. Dan kami Telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang didalamnya ada petunjuk dan cahaya dan membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa. Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”. Selanjutnya, firman Allah QS. Al-Maidah ayat 66 “Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan hukum Taurat dan Injil dan Al Quran yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Diantara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka”. Dengan demikian, perlu diperhatikan dari penafsiran ayat-ayat di atas adalah bahwa setelah Al-Qur'an membahas Taurat dan Injil, ayat berikutnya menyebutkan sebuah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang salah satu tujuannya adalah sebagai pembenaran mushaddiq untuk dua kitab yakni Taurat dan Injil. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah QS. Al-Maidah ayat 68 sebagai berikut “Dan kami Telah turunkan kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” Sebagaimana ditunjukkan oleh ayat-ayat di atas, maka Al-Qur'an mengakui realitas keragaman agama. Bahkan, pengakuan terhadap kitab-kitab sebelum Al-Qur'an adalah salah satu dari enam rukun iman yang wajib diyakini. Kedua, pengakuan kepada para nabi-nabi pendahulu sebelum Nabi Muhammad Saw. Umat Islam wajib beriman kepada setidaknya 25 nabi dan rasul, di samping kitab-kitab yang diturunkan Paelani Setia 130 APLIKASIA Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 2, 2021 sebelum Al-Qur'an. Namun angka tersebut hanyalah jumlah minimal karena proyeksi jumlah nabi dan rasul adalah yang meliputi nabi dan 315 rasul. Bahkan menurut Syata al-Dimyati 1997, jumlah nabi dan rasul bisa melebihi angka yang tertera di atas. Pengakuan dan kepercayaan pada nabi berbeda dari iman pada kitab suci, karena tidak semua nabi memiliki kitab sucinya, misalnya saja Nabi Syu'aib. Ketiga, pengakuan terhadap agama lain, yaitu Yudaisme, Kristen, dan Syabi'in. Hal ini dibuktikan dalam surah al-Baqarah ayat 62 “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Syabi'in, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati”. Kemudian, firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 69 “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja diantara mereka yang benar-benar saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati”. Ayat ini dengan tegas menunjukkan bahwa siapa pun di luar Islam, terutama Yahudi, Kristen, dan Syabi'in yang menyatakan bahwa mereka hanya percaya kepada Allah, percaya pada Hari Akhir, dan melakukan perbuatan baik akan mendapatkan pahala dari Allah. Menurut Fazlur Rahman Rahman, 2009, banyak ulama yang telah berusaha menyangkal makna dari dua ayat di atas al-Baqarah ayat 62 dan al-Maidah ayat 69, meskipun hasilnya sia-sia. Mayoritas penafsir termasuk mereka yang berasal dari organisasi Hizbut Tahrir menafsirkan dua ayat ini untuk menyiratkan orang-orang Yahudi, Kristen, dan Syabi'in yang telah masuk Islam. Menurut Amin Abdullah, penafsiran ini jelas tidak tepat karena seperti yang ditunjukkan dalam kedua ayat ini, orang Muslim adalah yang pertama diantara empat kategori orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir Abdullah, 2020. Amin Abdullah 1995, menegaskan bahwa poin-poin sentral ajaran Al-Qur'an yang menekankan pentingnya saling mengakui keberadaan dan keselamatan di luar diri sendiri atau kelompok sendiri terbukti lebih rendah dan kurang populer daripada penegasan tentang perlunya mengadopsi sikap eksklusif dan membuat klaim kebenaran. Ini adalah kasus untuk semua pemeluk agama, tetapi khususnya bagi umat Islam. Dalam arti, pluralitas agama, termasuk keselamatan para pemeluk agama yang berbeda di luar keyakinan mereka tidak akan pernah bisa diakui. Hal ini terjadi tidak hanya secara individu, tetapi juga sebagai organisasi dalam skala global dan nasional, salah satunya adalah organisasi Hizbut Tahrir. Karenanya, HTI mencanangkan kewajiban menerapkan syariat Islam secara utuh yang harus ditaati baik Muslim maupun nonmuslim. Ini adalah "penghinaan" terhadap penegasan Al-Qur'an tentang pluralitas. Bahkan, tanpa disadari HTI telah membuat penegasan kebenaran yang berlebihan. Penafsiran yang memunculkan pernyataan klaim kebenaran ini sebenarnya dapat dihindari jika seorang penafsir menyadari perlunya teknik membaca Atas Nama Islam Kajian Penolakan Hizbut Tahrir Indonesia… APLIKASIA Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 2, 2021 131 teks yang utuh, komprehensif, dan dialektis. Bukan tafsir al-Qur'an yang kembali ke sifat ideologis prasangka yang statis, ahistoris, sangat eksklusif, tekstual, dan patriarki Zuhdi, 2013. Padahal teks al-Qur'an harus dipahami dalam konteks agar teks dapat berkomunikasi M. Quraish Shihab, 2013, terutama dalam menghadapi kesulitan zaman yang semakin plural. Dengan menelaah bagaimana menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an secara dialektis dan hermeneutis, dimungkinkan untuk melihat bahwa Al-Qur'an jauh lebih liberal dan radikal, serta bijaksana dalam menanggapi masalah keragaman agama. Sebab, jika diperhatikan dengan seksama, Al-Qur'an sangat mengutamakan untuk saling mengenal, terlibat dalam percakapan, dan menjauhkan diri dari paksaan, khususnya dalam masalah agama. 2. Perilaku Inkonsistensi HTI Beberapa Kritik Penting Selain pengakuan tertulis dalam Al-Quran, beberapa kritik atas konsep HTI juga dapat disematkan dalam beberapa poin. Pertama, menurut Asep dan Zulkifili 2016, Hizbut Tahrir merupakan organisasi jaringan global transnasional yang merupakan bagian, peserta, dan penafsir globalisasi. Hal ini ditandai oleh perjuangan mereka membangun negara Islam khilafah Islam dengan kewarganegaraan yang global umat global. Hizbut Tahrir beroperasi melintasi batas negara dan menantang keberadaan negara-bangsa nation-state. Terbukti kehadirannya di seluruh dunia termasuk Eropa, Amerika, Asia, dan Australia dapat dipahami sebagai ambisinya untuk memposisikan diri sebagai pemain global dan untuk menafsirkan globalisasi untuk kebutuhan dan kepentingannya. Tanpa sadar upaya HTI dalam menyebarkan paham khilafah di seluruh dunia mengakomodir nilai-nilai globalisasi yang melintasi antarwilayah, antar negara dan antar benua. Nyatanya selain pada penyebaran ide, HTI memanfaatkan dengan baik media dan digital yang merupakan ciri khas dari globalisasi. HTI aktif menggunakan media sosial dan internet sebagai alat untuk mempropaganda umat manusia agar mereka mau bergabung menegakkan khilafah di seluruh dunia. Jika mereka berdalih, hal ini bukan bagian dari hal-hal yang berkaitan dengan aqidah atau ideologi, nyatanya di media-media digital dan internet juga disusupi ideologi kapitalisme dan sekularisme. Dengan demikian, asas kemurnian HTI tidak dijaga dengan baik dan cenderung bias, tidak jelas batasannya mana yang mereka anggap ideologis yang bernilai mana yang dianggap sebagai media alat yang tidak bernilai semata. HTI bahkan sesuka-suka mendefinisikan sendiri yang bahkan mendukung agendanya. Kritik penulis sendiri disampaikan secara gamblang dalam skripsi yang berjudul Islamic-buzzer and Hoaks Propaganda Khilafah Eks HTI di Jawa Barat Setia, 2020. Skripsi tersebut secara detail menjelaskan bagaimana HTI mengadopsi dunia digital dan internet untuk mempropaganda publik dengan berperan sebagai buzzer yang bertopeng Muslim. Setiap anggota dan kontakan HTI dibekali dengan kemampuan khusus untuk membantu menyebarluaskan gagasan dan ide-ide HTI sehingga hasilnya bisa terlihat pada menguatnya isu HTI di media sosial Twitter, Facebook, dan Youtube. Peran HTI ini jelas merupakan bagian bahkan pengguna aktif globalisasi yang mereka kritik secara habis-habisan. Sungguh ironi, jika di satu sisi HTI menolak dengan lantang globalisasi dan segala Paelani Setia 132 APLIKASIA Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 2, 2021 unsurnya, tetapi di sisi lainnya mereka adalah pemain ulung yang memanfaatkan globalisasi untuk mewujudkan cita-citanya. Kedua, kritik pada HTI dan penolakannya terhadap demokrasi disampaikan oleh Burhanudin Muhttadi 2009. Menurut Muhtadi, dalam perkembangannya, ide-ide HTI banyak diterima akibat ketidakpuasan publik yang meluas terhadap era reformasi. HTI berpendapat bahwa memburuknya kondisi sosial dan ekonomi di bawah rezim pasca-Suharto disebabkan oleh dominasi sistem yang dianggap tidak Islami, seperti sekularisme, demokrasi dan kapitalisme dalam pemerintahan Indonesia dan birokrasi, serta pengaruh budaya Barat ditambah tidak adanya kekhalifahan Islam. Ironisnya, sebagai pendukung vokal sentimen anti-demokrasi dan nasionalisme, HTI mengambil keuntungan dari rezim demokratis pasca-Soeharto di mana kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi juga diberikan kepada kelompok yang jelas-jelas bertujuan untuk menggulingkan rezim demokrasi. Melihat narasi besar HTI tentang kekhalifahan Islam global dan penolakannya terhadap gagasan demokrasi dan negara-bangsa, jelaslah bahwa HTI telah mengambil sejumlah langkah negatif ke arah konsolidasi demokrasi di negara Indonesia. Jelaslah apa yang dilakukan HTI juga sama halnya dengan penolakannya terhadap globalisasi dan unsurnya, disini HTI dengan lantang menolak demokrasi dan segala ideologi yang menyertainya, namun di sisi lain, HTI justru hidup dan anteng menikmati nuansa demokrasi yang memberikan kebebasan berserikat dan berpendapat. Sebelum HTI akhirnya dibubarkan oleh pemerintah pada tahun 2017 silam, aktivitas HTI bahkan dibiarkan begitu saja meskipun jelas-jelas bertentangan dengan ideologi Pancasila. Tidak ada larangan bagi HTI untuk menggelar diskusi, debat, acara-acara nasional, bahkan internasional misalnya Konferensi Khilafah Internasional tahun 2007 digelar di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta dengan menghadirkan 100 ribu anggota dengan mengusung tema Saatnya Khilafah Memimpin Dunia. Acara ini terselenggara tanpa ada penolakan dan larangan dari masyarakat dan negara Alles, 2016, sebagai sarana proses penyebaran ide-ide khilafahnya. HTI juga diberikan keleluasana untuk merekrut dan berkembang menjadi organisasi besar, ormas besar yang memiliki ratusan ribu anggota. Bahkan menurut Alles 2015, telah ada 5000 masjid yang menjadi pusat kajian dan penyebaran dakwah HTI di Indonesia. Ketiga, kritik terhadap HTI juga perlu disematkan pada pemahamannya tentang klaim agama yang tidak boleh menyebabkan terjadinya konflik. Hizbut Tahrir secara terang-terangan ingin merebut kekuasaan sah negara bukan dengan cara-cara konstituisonal. Banyak ahli misalnya pengamat Timur Tengah dari Indonesian Society for Middle East Studies ISMES, Smith Al Hadar, menyebut Hizbut Tahrir memperjuangkan khilafah sementara khilafah tidak mungkin lagi didirikan di zaman sekarang dimana nasionalisme negara-negara Arab sudah cukup kuat S. J. Amin, 2019. Termasuk, di negara-negara Arab, Smith menjelaskan bahwa Hizbut Tahrir mendorong oposisi—baik partai maupun militer—untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintah yang sedang berkuasa, lalu berkolaborasi dengan Hizbut Tahrir untuk membentuk khilafah dimana organisasi tersebut menjadi ujung tombak dari pemerintahan baru ini. Meski baru-baru ini, mneguat tren larangan aktivis Hizbut Tahrir di berbagai negara namun, tidak dapat dipungkiri bahwa meski Atas Nama Islam Kajian Penolakan Hizbut Tahrir Indonesia… APLIKASIA Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 2, 2021 133 dilarang pendukung Hizbut Tahrir masih menjalankan aktivitas secara diam-diam atau menyusup ke organisasi lain. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa alih-alih HTI menghindari truth claim agama, yang ada HTI malah menggunakan truth claim untuk memuluskan ambisi menegakkan khilafah secara memaksa. Kritik ini juga bisa dialamatkan pada keyakinan HT yang tidak pernah memaksakan kehendak umat lain untuk memeluk Islam, atau untuk menerima dakwahnya. HT justru terang-terangan terlibat dalam beberapa aksi genjatan senjata semisal, anggota yang bergabung dengan ISIS, maupun Al-Qaeda untuk memperoleh atau merebut kekuasaan. Hal ini sekaligus menandai bahwa HT juga pilih-pilih soal konteks melakukan kekerasan dan nir-kekerasan dalam penyebaran dakwahnya di dunia. Bagi lingkungan seperti Indonesia, mungkin mereka tidak terlibat dalam kekerasan atau genjatan senajata, tetapi di sudut benua lain sebut saja Timur Tengah, HT aktif bergerilya melaksanakan kekerasan dalam “dakwah” yang disampaiknanya. Hal ini sekaligus membatalkan argumentasinya yang menyebut bahwa Islam harus disebarkan dengan cara-cara yang halus dan lemah lembut Qohar & Hakiki, 2017. Keempat, kritik terhadap HTI juga bisa disematkan pada pemahaman yang mereka yakini untuk tidak pernah memaksa umat lain atau orang lain selama tidak membahayakan umat Islam. Nyatanya, dalam konteks sekarang, HTI justru seringkali terlalu “kepedean” merasa kelompoknya yang paling benar sehingga mengkafirkan orang lain, menyebut orang lain salah tanpa mengadakan diskusi dengan sesama umat Islam sendiri Tobias, 2019. Fenomena ini terlihat ketika HTI terus terkungkung bersama kelompoknya dan merasa tidak mau dan tidak perlu mengadakan diskusi dengan sesama umat Islam yang berbeda. Pemahaman yang merasa paling benar ini seringkali menjadi debat yang tidak pernah selesai, klaim merasa yang paling benar seringkali dimaknai berlebihan sehingga memungkinkan melebar pada caci maki, hujatan, dan sarat kebencian. Padahal, Islam justru mengajarkan berlemah lembut dan tidak mencaci maki saudaranya. Kelima, klaim hawa liberalisme dan sekularisme melahirkan sekte-sekte sesat seperti Lia Eden, Gafatar, Sekte Hari Kiamat, dan lain-lain merupakan argumentasi yang terlalu digeneralisasi tanpa melihat faktor sejarah dan perubahan sosial. Dalam sosiologi, khususnya sosiolog seperti Max Weber Weber, 1993 dan Ernest Troeltsch menyebut bahwa kelahiran gerakan-gerakan baru atau disebut gerakan sempalan disebabkan karena adanya ketidakpuasan terhadap gereja di Eropa. Mereka kecewa karena gereja terlalu rigid, mengikat, dan menafsirkan Injil secara tekstual. Akhirnya, muncul gerakan sempalan seperti Protestan yang lebih sukarela, tidak kaku, dan modern dalam menafsirkan kitab suci. Dalam konteks di Indonesia, kemunculan gerakan sempalan seperti Lia Eden, Gafatar, dan lain-lain juga bisa disebabkan oleh faktor yang sama. Mereka tidak puas dan bahkan tidak bisa mengakomodir harapan dan keinginan suatu kelompok tertentu sehingga mendirikan gerakan-gerakan baru yang sesuai dengan yang diinginkan. Apalagi ormas agama di Indonesia, misalnya Islam yang lebih mengerucut pada dua ormas arus utama saja dan tidak mencitrakan semua umat Islam di Indonesia. Dengan demikian, terlalu bias jika HTI mendefinisikan liberalisme atau sekularisme pada Paelani Setia 134 APLIKASIA Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 2, 2021 kemunculan gerakan sekte baru, diluar itu ada faktor kepuasan psikologis hingga sosial yang tidak dilirik sama sekali sebagai faktor pendorongnya. D. PENUTUP Dalam pandangan Hizbut Tahrir, Islam tidak mengakui pluralisme agama yang mengakui kebenaran universal semua agama sehingga tidak boleh ada monopoli klaim kebenaran oleh penganut agama tertentu. Karena hal tersebut ujung-ujungnya akan menolak Syariat Islam. Bagi HTI, kemajemukan yang ada seperti di Indonesia harus tetap berada dalam naungan yang satu yaitu akidah Islamiyah terutama dalam permasalahan mengatur negara, karena hanya Islamlah yang mempunyai metode untuk permasalahan tersebut. Dan apabila terjadi permasalahan di antara mereka semuanya dikembalikan kepada al-Qur’an dan Sunnah bukan kesepakatan bersama yang ada dalam sistem demokrasi yang di dukung oleh para kapitalisme global. Menurut Hizbut Tahrir, kebebasan beragama di Indonesia tidak diartikan kebebasan secara sebenarnya di mana kebebasan dalam Islam harus dipahami adanya keterkaitan manusia dengan hukum Allah bukan hukum yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Dan hal itu merupakan suatu yang biasa dilakukan oleh negara yang tidak menggunakan Islam sebagai dasar mengatur kehidupan masyarakatnya seperti di Indonesia. HTI menilai makna kebebasan seringkali dipahami bebas untuk memilih, termasuk keluar masuk agama tertentu dengan alasan bahwa kebebasan tersebut merupakan hak asasi manusia. Karenanya, HTI menyimpulkan bahwa pandangan kebebasan beragama harus dipahami sebagaimana Islam adalah agama yang paling benar, sekaligus menolak truth claim agama-agama selain Islam. Sayangnya, pemahaman HTI ini justru berlawanan dengan fakta inkonsistensi mereka sendiri. Berbagai kritik datang kepada HTI beserta usahanya dalam penegakkan khilafah. Mulai dari kritik terhadap pemahaman literal HTI yang menolak pluralisme agama yang justru dibuktikan dengan pengakuan Al-Qur’an terhadap pluralisme. HTI dengan lantang juga menolak demokrasi tetapi faktanya hidup dan tumbuh dalam nuansa demokrasi, menolak globalisasi sebagai bagian dari kapitalisme tetapi bertindak sebagai pemain dan penafsir globalisasi dan menganggap konflik agama yang terjadi disebabkan bukan karena klaim kebenaran sendiri, tetapi justru mereka memainkan peran dalam beberapa konflik yang terjadi. Berbagai kritik yang ada merupakan pembuktian kenapa HT dan HTI banyak ditolak dan dilarang di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Karenanya, HT jelas merupakan tantangan serius bagi upaya membumikan gagasan pluralisme di Indonesia. Sebuah gagasan yang mengandung nilai-nilai semangat perdamaian dalam konteks beragama di era kontemporer yang amat multikultural ini. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. A. 1995. Falsafah kalam di era postmodernisme. Pustaka Pelajar. Abdullah, M. A. 2020. Dinamika Islam Kultural. IRCISOD. Aisyah, S. 2019. Halaqah Media Komunikasi, Publikasi Eksistensi Hizbut Tahrir Indonesia sebelum dan Pasca Pembubaran. Asyahid Journal of Islamic and Quranic Studies AJIQS, 11, 1–13. Al-Dimyati, A. B. bin M., & Syata, S. M. 1997. Hasyiyah I anah al-Talibin. Beirut Dar Al-Fikr. Atas Nama Islam Kajian Penolakan Hizbut Tahrir Indonesia… APLIKASIA Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 2, 2021 135 Al Amin, A. R. 2012. Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir Indonesia HC. LKIS PELANGI AKSARA. Alles, D. 2016. Transnational Islamic Actors and Indonesia’s Foreign Policy. Routledge Taylor and Francis Group. Amin, S. J. 2019. Gerakan Sosial Islam Hizbut Tahrir Syarah & Implementasi Pemikiran Taqiyuddin An-Nabhani di Kota Parepare. RELASI INTI MEDIA. An-Nabhani, Taqiuddin. 2011. Nizham Al-Islam. HTI-Press. An-Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Sistem Pemerintahan Islam; Doktrin, Sejarah dan Realitas Empirik. Al Izzah. An-Nabhani, Taqiyuddin. 2008. Mafahim Hizbut Tahrir. terj. Abdullah, Cet. IV. Jakarta Hizbut Tahrir Indonesia. An-Nabhani, Taqiyudin. 2004. Takatul Hizbi. HTI Press. Arifan, F. A. 2014. Paham Keagamaan Hizbut Tahrir Indonesia. Jurnal Studi Sosial, 62, 94–102. Ayoob, M. 2008. The Many Faces of Political Islam Religion and Politics in the Muslim World. University of Michigan Press. Brandon, J. 2006. Hizb-ut-Tahrir’s Growing Appeal in the Arab World. Terrorism Monitor, 224. Commins, D. 1991. Taqi al-Din al-Nabhani and the Islamic Liberation Party. The Muslim World, 813–4. Delphine Alles. 2015. Transnational Islamic Actors and Indonesia’s Foreign Policy. Routledge,. Fatmawati, F., Minangsih, K., & Noorhayati, S. 2020. Observing HTI’s Da’wah Movement Following Perppu Number 2 of 2017 Concerning Community Organizations. ESENSIA Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 201, 119–129. Iqbal, A. M., & Zulkifli. 2016. Islamic fundamentalism, nationstate and global citizenship The case of Hizb ut-Tahrir. Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, 61, 35–61. Karagiannis, E. 2009. Political Islam in Central Asia The Challenge of Hizb ut-Tahrir. Routledge. Madjid, N. 1988. Islam doktrin dan peradaban sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan. Yayasan Wakaf Paramadina. Madjid, N. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban. Yayasan Wakaf Paramadina Jakarta. Madjid, N. 1995. Islam agama kemanusiaan membangun tradisi dan visi baru Islam Indonesia. Yayasan Wakaf Paramadina. Madjid, N. 2004. Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. Paramadina. Majid, N. 2000. Tidak Ada Negara Islam Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem. Djambatan. Malik, S. 2004. For Allah and the Caliphate. New Statesman. Misrawi, Z. 2007. Al-Quran kitab toleransi inklusivisme, pluralisme dan multikulturalisme. Penerbit Fitrah. Misrawi, Z. 2010. Al-quran kitab toleransi. Grasindo. Muhtadi, B. 2009. The Quest for Hizbut Tahrir in Indonesia. Asian Journal of Social Science, 374, 623–645. Paelani Setia 136 APLIKASIA Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 21, No. 2, 2021 Mulyadi, S. 2001. Teologi Inklusif Cak Nur. Ke-2. Jakarta Penerbit Buku. Munawar-Rachman, B. 2018. Reorientasi Pembaruan Islam. Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. PUSAM UMM [Pusat Studi Agama dan Multikulturalism Pascasarjana Universitas …. Onwuegbuzie, A. J., Leech, N. L., & Collins, K. M. 2012. Qualitative analysis techniques for the review of the literature. Qualitative Report, 1756. Osman, M. N. M. 2010a. Reviving the Caliphate in the Nusantara Hizbut Tahrir Indonesia’s mobilization strategy and its impact in Indonesia. Terrorism and Political Violence, 224, 601–622. Osman, M. N. M. 2010b. The Transnational Network of Hizbut Tahrir Indonesia. South East Asia Research, 184, 735–755. Qodir, Z. 2014. Radikalisme Agama di Indonesia Pertautan Ideologi Politik Kontemporer dan Kekuasaan. Pustaka Pelajar. Qohar, A., & Hakiki, K. muhamad. 2017. Eksistensi Gerakan Ideologi Transnasional HTI Sebelum dan Sesudah Pembubaran. KALAM, 112, 365–396. Qomar, M. 2002. NU" liberal" dari tradisionalisme ahlussunah ke universalisme Islam. Mizan. Rachman, B. M. 2010. Argumen Islam untuk pluralisme. Grasindo. Rahman, F. 2009. Major Themes of the Qur’an. University of Chicago Press. Rahman, F. 2017. tema-tema pokok Al-quran. Mizan Pustaka. Rashid, R. 1993. A Malaysian journey. Rehman Rashid Petaling Jaya. Setia, P. 2020. Islamic-buzzer dan hoaks Propaganda khilafah oleh eks HTI Kota Bandung di Jawa Barat. UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Setyawan, F. A. 2017. Pemerintah Resmi Cabut SK Badan Hukum HTI. CNN Indonesia. Shihab, M. Quraish. 2013. Kaidah Tafsir,. Lentera Hati. Shihab, Moh Quraish. 1998. Atas Nama Agama Wacana Agama Dalam Dialog" Bebas" Konflik. Pustaka Hidayah. Taqiyuddin, A. N., & Al-Islamiyyah, 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Terj. In Nur khalish, Surabaya Risalah Gusti. Thoha, A. M. 2005. Tren pluralisme agama tinjauan kritis. Gema Insani. Tobias, S. 2019. Sejarah HTI, Tak Seharusnya Dibubarkan? Wahid, A. 1999. Tuhan tidak perlu dibela. LKIS PELANGI AKSARA. Weber, M. 1993. The sociology of religion. Beacon Press. Wisnuwardana, A. 2016. Khilafah Sistem Hebat Negara Dunia. Media Zuhdi, M. N. 2013. KRITIK TERHADAP PENAFSIRAN AL-QUR’AN HIZBUT TAHRIR INDONESIA. AKADEMIKA Jurnal Pemikiran Islam, 182, 209–234. ... Gejala ini juga terlihat dalam wacana nasionalisme di kalangan umat Muslim hari ini. Wacana anti-nasionalisme mulai berkembang pesat sejak Era-Reformasi lewat gerakan Islam Transnasional, seperti, Jama'ah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir Indonesia HTI Ridwan, 2021;Setia, 2021;Wahid, 2009 Muhammadiyah sebagai gerakan Islam moderat. Buku ini dapat digunakan sebagai pedoman dan benteng ideologis bagi warga Muhammadiyah agar tidak terpengaruh oleh wacana ideologis yang disebarkan oleh gerakan Islam transnasional. ...This article discusses the concept of Muhammadiyah's nationalism and the challenges it faces in the present context. The research utilizes a literature-based approach, drawing from relevant sources. The study highlights Muhammadiyah's perspective that Islam and nationalism can coexist. Muhammadiyah's nationalism is rooted in religious beliefs and is based on Islam and the socio-historical context of Indonesia. The history of Muhammadiyah as an Islamic movement founded by KH Ahmad Dahlan demonstrates their commitment to the development of the Muslim community in Indonesia. However, Muhammadiyah and moderate Islamic movements encounter challenges in dealing with views that consider nationalism contradictory to Islamic teachings. The primary challenge faced by Muhammadiyah's nationalism today is the rapid advancement of technology, which has not been accompanied by the strong internalization of Muhammadiyah's nationalist ideology among the younger generation. Additionally, the rise of transnational Islamic movements that oppose nationalism poses a significant challenge. Abstrak Artikel ini membahas konsep nasionalisme Muhammadiyah dan tantangan yang dihadapinya dalam konteks masa kini. Pendekatan kepustakaan digunakan dalam penelitian ini dengan mengacu pada literatur-literatur yang relevan. Kajian ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah memandang bahwa ajaran Islam dan nasionalisme dapat berjalan seiring. Nasionalisme Muhammadiyah merupakan nasionalisme religius yang didasarkan pada ajaran Islam dan konteks sosio-historis Indonesia. Sejarah Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan menunjukkan komitmen mereka terhadap pembangunan umat Islam di Indonesia. Namun, Muhammadiyah menghadapi tantangan dalam menghadapi pandangan yang menganggap nasionalisme bertentangan dengan ajaran Islam. Tantangan utama yang dihadapi nasionalisme Muhammadiyah saat ini adalah pesatnya perkembangan teknologi yang belum diimbangi dengan proses internalisasi paham nasionalisme Muhammadiyah yang kuat pada generasi muda Muhammadiyah, serta menguatnya gerakan Islam transnasional yang menentang nasionalisme.... Apart from promoting the idea of a caliphate, HTI also rejects pluralism, as it is considered to damage the purity of Islam. Setia, 2021. Meanwhile, the Islamic movement that carries Salafism-Wahhabism campaign massively carried out religious purification and rejected traditions such as haul and maulid. ...Rabith Jihan AmaruliSinggih Tri Sulistiyono Dewi YuliatiThis article discusses the haul, the annual death ceremony of Habib Hasan bin Thaha in Semarang, Indonesia. In this study, haul is considered as an effort by the Muslim community in preserving his memory on the one hand, and campaigning nationalism on the other. Haul of Habib Hasan bin Thaha was held for the first time in 2018 after the restoration of his tomb. Through the story built about the figure of Habib Hasan bin Thaha, this haul is not only a religious activity, but also becomes an effective effort in campaigning for nationalism. The presence of state elements through the national anthem, the red and white flag, and the reading of Pancasila, makes Habib Hasan bin Thana’s haul distinct from other hauls in Indonesia. The Indonesian nuance in the haul also provides a new image for the Hadhrami-Arabs, the constructers of the haul, as a nationalist community in the midst of the negative image portrayed by some Hadhrami-Arabs through radical and transnational Islamic beliefs.... Periode sahabat dan periode para tabi'in kerap kali juga disebut dengan generasi mutaqaddimin atau generasi salaf Setia 2021. Pengertian ini merujuk kepada salah satu hadith nabi yang masyhur bahwa "Sebaik-baiknya generasi adalah yang aku berada di dalamnya, kemudian setelahnya, dan setelahnya". ...Annisa NurfauziahTulisan ini bertujuan untuk memetakan sebab-sebab perbedaan yang terjadi pada tafsir salaf atau asbab ikhtilaf fi tafsiri i salaf. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah library research atau studi pustaka. Hasil studi menunjukan bahwa perbedaan tafsir di kalangan ulama salaf secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu pemahaman di kalangan ulama salaf itu sendiri serta adanya nash yang mengandung banyak makna. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sebab-sebab perbedaan yang terjadi pada tafsir salaf dikarenakan beberapa faktor, yaitu adanya lafaz yang musyatarak mengandung banyak makna; perbedaan dalam menafsirkan kata ganti yang merujuk kepada beberapa makna; terdapat lafaz yang dihilangkan; terdapat satu lafaz yang mengandung banyak tafsir, sehingga mufassir ada yang membawa lafaz tersebut kepada makna dekat ma’na qarib dan makna jauh ma’na bai’d; nasakh dan mansukh; am dan khas; dan perbedaan penggunaan qiro’at karena mempunyai jalur periwayatan yang berbeda. Sulayman At-Thayyar berpendapat bahwa perbedaan di kalangan ulama ini merupakan tabi’at atau fitrah manusia. Perbedaan ini pun tidak menjadikan para ulama hina dan tidak ada seorang manusia pun yang dapat menghindar dari perbedaan. Asep Muhamad IqbalContrary to common understanding among observers, this essay argues that Islamic fundamentalism is not anti-globalization movement, but rather as parts, participants, and interpreters of globalization. Focusing on the case of Hizb ut-Tahrir, it shows that regardless of its utopian nature of the ideology it promotes , Islamic fundamentalism is a globalizing force that constitutes a return of old world religions to modern society, which is characterised by its rejection of the validity of nation-states and vision of a global citizenship through the establishment of Islamic Caliphate as a single global community of believers ummah with its universalistic rules and laws within contemporary Mus-lim world. Berbeda dari pandangan yang sejauh ini banyak dikemukakan oleh para pengamat, tulisan ini berargumen bahwa fundamentalisme Islam bukan merupakan gerakan anti-globalisasi, melainkan justru sebagai bagian, partisipan dan penafsir fenomena globalisasi. Dengan memfokuskan analisisnya pada kasusIn this article, we provide a framework for analyzing and interpreting sources that inform a literature review or, as it is more aptly called, a research synthesis. Specifically, using Leech and Onwuegbuzie's 2007, 2008 frameworks, we delineate how the following four major source types inform research syntheses talk, observations, drawings/photographs/videos, and documents. We identify 17 qualitative data analysis techniques that are optimal for analyzing one or more of these source types. Further, we outline the role that the following five qualitative data analysis techniques can play in the research synthesis constant comparison analysis, domain analysis, taxonomic analysis, componential analysis, and theme analysis. We contend that our framework represents a first step in an attempt to help literature reviewers analyze and interpret literature in an optimally rigorous way. © 2012 Anthony J. Onwuegbuzie, Nancy L. Leech, Kathleen M. T. Collins and Nova Southeastern University. Mohamed Nawab Mohamed OsmanHizbut Tahrir HT is a transnational Islamic movement operating in over forty-five countries. Literature on HT has focused mainly on its activities in Central Asia and Europe. As such, when the HT chapter in Indonesia organized the largest-ever political gathering staged by HT, many observers were caught by surprise. Yet despite the importance of Hizbut Tahrir Indonesia HTI, little is known about the organization in the English-speaking world. This paper is an attempt to present empirical data on this group. The paper argues that HTI's usage of different mobilization strategies has resulted in its ability to effect policy changes in Indonesia. Emmanuel KaragiannisThe terrorist attacks in the United States on 9/11 and the military campaign against the Taliban regime in Afghanistan have intensified scrutiny of radical Islamic groups across Central Asia. This books offers one of the first comprehensive studies of the activities of one of the most feared - but least understood - inernational Islamist organizations in post-Soviet Central Asia Hizb ut-Tahrir, that is The Party of Islamic Liberation. By utilizing social movement theory, the book analyses political Islam in Central Asia in general, and the phenomenon of Hizb ut-Tahrir in particular. It reveals the critical role of its ideology based on a selective interpretation of Islamic theology and history in the party's recruiting success. Using primary sources, including the group's publications and documents, official reports, alongside interviews with scholars, security experts, mullahs, journalists, diplomats, government officials and group members, it covers the rise of political Islam in the post-Soviet Central Asia, alongside the origins and current status of Hizb ut-Tahrir - its leadership, ideology, political methodology and party structure and its rise in the region from Kazakhstan to Russia and China. Although the organization has received less international examination partly because it has advocated a non-violent approach toward its goals, this book sketches its prospective future relationship to violence in this key region. Mohamed Nawab Mohamed OsmanThis paper explores the regional network of the Indonesian chapter of Hizbut Tahrir HT, a transnational Islamic group aiming to revive the Islamic Caliphate. Focusing on the chapter of HT in Indonesia, the paper highlights how Hizbut Tahrir Indonesia HTI supports the activities of other HT chapters in the region and beyond. The key argument of the paper is that an understanding of HTI's transnational activism brings new insights to the current understanding of HT as a transnational movement. The author seeks to show the linkages between HTI and other HT chapters around the world and to analyse the implications of HTI's transnational activism.
UcapanSelamat dari Hizbut Tahrir pada Momen Idul Adha al-Mubarak. 20 Jul 2021. English Section