Sertainforman tambahan meliputi guru mata pelajaran, pengurus HNSI serta pengamat dari BMKG. Hasil penelitian (1) Dampak pemanasan global sangat dirasakan oleh masyarakat nelayan yang berada di Kelurahan Tegalkamulyan. Pemanasan global sangat berpengaruh terhadap aktivitas nelayan, baik aktivitas melaut, aktivitas mengolah dan aktivitas menjual. monkeybusinessimages Ruang kerja terbuka di kantor. - Semakin menurunnya jam kerja secara global akibat wabah COVID-19 menyebabkan 1,6 miliar pekerja di perekonomian informal–hampir setengah dari jumlah angkatan kerja global–berada dalam bahaya langsung mengalami kehancuran mata pencarian mereka, demikian Organisasi Perburuhan Internasional International Labour Organization/ILO mengingatkan. Menurut “Monitor ILO edisi ketiga COVID-19 dan dunia kerja”, penurunan jam kerja di kuartal kedua tahun 2020 kini diperkirakan akan semakin buruk dibandingkan estimasi sebelumnya. Dibandingkan dengan tingkatan sebelum krisis Q4 2019, saat ini diperkirakan akan terjadi kemorosotan 10,5 persen, setara dengan 305 juta pekerjaan penuh waktu dengan asumsi 48 jam kerja seminggu. Estimasi sebelumnya adalah penurunan 6,7 persen, setara dengan 195 juta pekerja penuh waktu. Ini diakibatkan perpanjangan dan perluasan tindakan karantina. Baca Juga TIngkatkan Literasi Keuangan di Tengah Pandemi, Berikut Caranya Secara regional, situasi ini memburuk untuk semua kelompok regional utama. Estimasi memperkirakan 12,4 persen hilangnya jam kerja di Q2 untuk kawasan Amerika dibandingkan dengan tingkatan sebelum krisis dan 11,8 persen untuk kawasan Eropa dan Asia Tengah. Estimasi untuk kelompok-kelompok regional lainnya mendekati angka itu dan semuanya di atas 9,5 persen. Dampak perekonomian informal Sebagai akibat dari krisis ekonomi yang disebabkan oleh pandemi, hampir sekitar 1,6 miliar pekerja perekonomian informal mewakili kelompok paling rentan di pasar kerja, dari sekitar dua juta miliar di seluruh dunia dan 3,3 miliar angkatan kerja global, mengalami kerusakan besar dalam kapasitas mereka untuk memperoleh pendapatan. Hal ini dikarenakan tindakan karantina dan/atau karena mereka bekerja di sektor yang paling terkena imbas pandemi. Bulan pertama krisis ini diperkirakan mengakibatkan kemorosotan 60 persen dari penghasilan pekerja informal secara global. Bila dirincikan secara kawasan kemerosotan 81 persen terjadi di kawasan Afrika dan Amerika, 21,6 persen di kawasan Asia dan Pasifik dan 70 persen di Eropa dan Asia Tengah. Tanpa sumber penghasilan alternatif, para pekerja dan keluarganya tidak memiliki sarana apapun untuk bertahan. Usaha terkena risiko Proporsi pekerja yang hidup di negara-negara yang merekomendasikan atau mewajibkan penutupan tempat kerja telah menurun dari 81 menjadi 68 persen selama dua minggu terakhir ini. Penurunan dari estimasi sebelumnya, yaitu 81 persen pada monitor edisi kedua diterbitkan 7 April, utamanya disebabkan oleh perubahan di Tiongkok; sementara di wilayah lainnya penutupan tempat kerja meningkat. Di seluruh dunia, lebih dari 436 juta usaha menghadapi risiko tinggi gangguan yang serius. Usaha-usaha ini beroperasi di sektor ekonomi yang paling terkena imbas pandemi, termasuk 232 juta di sektor usaha eceran, 111 juta di manufaktur, 51 juta di akomodasi dan jasa makanan dan 42 juta di usaha properti dan kegiatan usaha lainnya. PROMOTED CONTENT Video Pilihan Keanekaragamanhayati yang penting secara global ini menopang mata pencaharian pesisir dan ketahanan pangan, tetapi berisiko dari perubahan iklim dan eksploitasi berlebihan terhadap perikanan pantai. Kami telah mempertahankan kehadiran permanen mendukung konservasi laut dan manajemen perikanan yang dipimpin secara lokal di Komoro sejak 2015, memberikan dukungan kepada mitra lokal, lembaga pemerintah, dan masyarakat. Aktivitas masyarakat pada proyek riset pengamanan dan manfaat REDD+ di Provinsi Jambi, Indonesia. Foto oleh Icaro Cooke Vieira/CIFOR-ICRAF Bacaan terkait Artikel ini menyajikan temuan awal penelitian kami mengenai perlindungan REDD+ di Provinsi Jambi, Indonesia; hasil penelitian telah dipresentasikan dan divalidasi bersama pemangku kepentingan utama di Jambi pada November 2022. Perlindungan diperkenalkan untuk mengatasi potensi dampak program reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan REDD+ terhadap masyarakat adat dan komunitas lokal IP dan LC. Namun, bagaimana perlindungan ini bekerja dan apa rintangan dalam implementasinya? Perlindungan dikonseptualisasikan dengan cara berbeda – mulai dari penghalang dampak negatif do no harm’ hingga mekanisme yang dapat mengkatalisasi peningkatan kesejahteraan dan mata pencaharian masyarakat adat dan komunias lokal do better’. Melalui Studi Komparatif Global CIFOR-ICRAF tentang REDD+ GCS-REDD+, kami meneliti desain dan implementasi perlindungan REDD+ di Indonesia, Peru, dan Republik Demokratik Kongo. Tujuan kami adalah untuk memahami bagaimana perlindungan diterapkan, mengidentifikasi tantangan implementasi, dan memberikan rekomendasi untuk mengatasi tantangan tersebut. Pada tingkat nasional, kami menelaah dokumen legal dan mewawancarai ahli hukum untuk memahami kondisi pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat dan lokal dalam konteks REDD+. Pada tingkat provinsi, kami menggabungkan keterlibatan jangka panjang kami dengan REDD+ di Indonesia dengan telaah pustaka yang lengkap dan wawancara dengan para pemangku kepentingan yang berpengalaman dengan perlindungan terkait dengan inisiatif Fasilitasi Kemitraan Karbon Hutan FCPF di Provinsi Kalimantan Timur, dan proyek Dana BioKarbon di Provinsi Jambi. Di Jambi, narasumber kami meliputi lembaga swadaya masyarakat LSM, aktor pemerintah, dan peneliti dari perguruan tinggi, serta perwakilan kelompok yang mungkin terkena dampak proyek REDD+. Perlindungan REDD+ di Jambi Jambi merupakan salah satu provinsi yang dipilih untuk kegiatan percontohan REDD+. Terdapat empat lokasi pada 2014 Berbak, Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Hutan Hujan Harapan dan Hutan Desa Durian Rambun. Jambi juga menjadi lokasi pasar karbon sukarela REDD+, termasuk proyek pembayaran atas jasa lingkungan Bujang Raba 2014-2020 yang dikerjakan oleh Komunitas Konservasi Indonesia KKI Warsi, dan proyek Durian Rambun 2013-2020 yang dikoordinasikan oleh Flora and Fauna International. Mengikuti pengembangan SIS Sistem Informasi Safeguards REDD+ di tingkat nasional pada 2011, Jambi menjadi salah satu provinsi yang melakukan uji coba SIS REDD+, menyusul komitmen pemerintah daerah dalam mengembangkan strategi dan rencana aksi REDD+ provinsi. Provinsi ini juga berpartisipasi dalam uji coba awal PRISAI Prinsip, Kriteria, Indikator Safeguard REDD+ Indonesia, bekerja sama dengan KKI Warsi. Saat ini, aktivitas di bawah Inisiatif Biokarbon untuk Bentang Alam Hutan Berkelanjutan Dana BioCarbon di Jambi harus selaras dengan kerangka perlindungan yang disyaratkan untuk mendapatkan pembayaran berbasis hasil. Jambi memiliki target untuk mengurangi sedikitnya 14 juta ton CO2 pada 2026 untuk total pembayaran sebesar 70 juta dolar AS. Berbeda dengan Kalimantan Timur, Jambi mendapatkan dana pra investasi sebesar 13,5 juta dolar AS untuk pelaksanaan kegiatan penurunan emisi. Pembiayaan ini mendanai kesiapan REDD+ di provinsi tersebut, termasuk dukungan teknis untuk memenuhi persyaratan perlindungan Bank Dunia. Dukungan ini termasuk pembuatan standar prosedur operasi SOP tentang perlindungan untuk implementasi proyek dan pedoman persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan FPIC. Sampai saat ini, FPIC telah dilakukan di 170 desa; dan 60 desa lainnya pada 2023. Terkait dengan aspek perlindungan lainnya, Jambi saat ini sedang menyusun rancangan peraturan daerah tata cara pengakuan masyarakat adat, dan telah merancang mekanisme umpan balik dan ganti rugi. Selain itu, meskipun dokumen rencana pembagian manfaat belum final, sudah ada diskusi di tingkat provinsi mengenai proporsi manfaat dan prosedur pembagian manfaat untuk masyarakat adat dan lokal. Lokakarya Bagaimana mendukung aksesibilitas manfaat bagi masyarakat adat dan lokal? Temuan awal penelitian ini telah dipresentasikan dalam lokakarya dengan pemangku kepentingan REDD+ di Jambi pada 24 November 2022. Lokakarya memfasilitasi diskusi terkait pembagian manfaat serta perlindungan hak-hak masyarakat adat dan lokal, termasuk dampak REDD+ terhadap mata pencaharian. Organisasi yang mewakili dan bekerja untuk isu masyarakat mencatat pentingnya memastikan distrisbusi manfaat sampai pada masyarakat, transparansi pembagian manfaat serta pemberian informasi yang jelas dan lengkap kepada seluruh pemangku kepentingan. Kepala unit manajemen proyek PMU menjelaskan bahwa kawasan tertentu telah dipilih sebagai target intervensi misalnya taman nasional dan beberapa wilayah kesauan pengelolaan hutan. Namun, manfaat akan dapat diakses oleh pemangku kepentingan terkait di tingkat yurisdiksi, termasuk desa-desa yang tidak dapat menunjukkan kinerjanya untuk pengurangan emisi selama intervensi, sebagai bagian dari dukungan pemerintah untuk meningkatkan mata pencaharian mereka. Langkah berikutnya program ini adalah menjalankan proses peningkatan kapasitas bagi para penerima manfaat, difokuskan untuk mendukung partisipasi efektif mereka dalam merancang program serta menyusun dan mengajukan proposal kegiatan yang akan didanai oleh pembayaran berbasis hasil dari program. Peserta juga mengusulkan keterlibatan organisasi masyarakat sipil CSO sebagai pemantau independen untuk keseluruhan program, serta untuk mendukung masyarakat dalam mekanisme umpan balik dan memperbaiki keluhan. Jambi mengambil pembelajaran dari implementasi program FCPF di Kalimantan Timur. Walaupun menerapkan standar perlindungan yang serupa, program FCPF Kalimantan Timur menunjukkan beberapa perbedaan dalam pengorganisasian program misalnya fase kesiapan yang dikoordinasikan oleh forum multi pihak Dewan Daerah Perubahan Iklim, operasionalisasi perlindungan misalnya proses FPIC yang didukung oleh LSM, serta keterlibatan pemangku kepentingan lain misalnya kurangnya keterlibatan dari sektor swasta. Penelitian lebih lanjut akan difokuskan pada analisis komparatif implementasi perlindungan di kedua provinsi. Mengkaji potensi standar pengamanan Analisis awal kami tentang perlindungan dalam konteks Dana Biokarbon di Jambi menemukan adanya potensi untuk mendukung kemajuan lebih lanjut terkait inklusi sosial dalam sistem pemerintahan. Misalnya, program tersebut telah mendorong peningkatan partisipasi berbasis gender. Inisiatif Dana Biokarbon juga telah mendukung penyusunan rancangan peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat. Melalui penelitian ini, kami berupaya memahami apa dan bagaimana perlindungan dapat mendukung perubahan transformasional terkait hak dalam inisiatif berbasis hutan. Kami akan terus memperbarui analisis kami sebagai bagian dari keterlibatan GCS REDD+ dengan perlindungan, memberikan rekomendasi berbasis bukti menuju REDD+ yang responsif terhadap hak yang bermanfaat bagi hutan serta masyarakat yang menjaganya. _____ Untuk informasi lebih lanjut tentang topik ini, silakan menghubungi Ade Tamara Nining Liswanti atau I Wayan Susi Dharmawan iway028 _____ Penelitian ini merupakan bagian dari Studi Komparatif Global CIFOR tentang REDD+ Mitra pendanaan yang telah mendukung penelitian ini meliputi Badan Kerjasama Pembangunan Norwegia, Inisiatif Iklim Internasional IKI dari Kementerian Lingkungan Hidup, Konservasi Alam, dan Keamanan Nuklir Pemerintah Federal Jerman, dan Program Penelitian CGIAR tentang Hutan, Pohon dan Agroforestri CRP-FTA dengan dukungan dari Dana Donor CGIAR Visited 1 times, 1 visits todayKebijakan Hak CiptaKami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike International CC BY-NC-SA Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews
Matapencaharian sendiri merupakan sebuah pekerjaan yang dilakoni oleh penduduk kawasan tertentu. Pada umumnya, mata pencaharian (pekerjaan) penduduk pegunungan adalah petani, peternak, bidang perkebunan, dan masih banyak lagi. Hal tersebut disebabkan karena adanya kecocokan antara lingkungan dan wilayah sekitar. Perbesar. Jenis kegiatan dalam

CONTINUOUS COLLABORATION IN CREATING ALTERNATIVE LIVELIHOODS Posted on 05 June 2021 Author by Natalia Trita Agnika "A healthy forest can provide economic benefits without having to do illegal logging," said Andi Liany, Head of Karuing Village, Kamipang District for the period Katingan-Sebangau Peat Hydrological Unit KHG, which has a total area of hectares, is a peat swamp ecosystem with relatively good forest cover. The orangutan population in KHG Katingan-Sebangau ranges from 5,600 – 5,800 individuals PHVA/Population and Habitat Viability Assessment data, 2016. Punggu Alas which located inside the KHG is one of the homes for the orangutan population in in Central Kalimantan are often burned due to various factors. Global Fire Watch analysis, for 5 years 2015-2019, shows that hotspots occur in peatland areas and mostly occur in non-forest cover. In total, it accounts for about 69% of the total area burned in Central fires in Borneo were the cause of orangutan habitat loss. Based on MODIS hotspot data sourced from NASA's Fire Information for Resource Management System FIRMS more than 7,000 hotspots were detected in 2015 and more than 4,500 hotspots were detected in 2019 which have an impact on the destruction of orangutan research was conducted in collaboration with the Sebangau National Park Office, Palangka Raya University, and several orangutan experts in the Punggu Alas area since 2012. The research focused on studying orangutan behavior include daily activities such as foraging, building nests, socializing, and movement ideal orangutan habitat will support life and they will be comfortable so that the reproductive process takes place well. The availability of forage trees, nesting trees, and the absence of threats such as peat fires are good supporting factors for the survival of this species in Punggu the late 1990s when the timber company closed. The Sebangau peat ecosystem has become open access so that many local people work on timber in Sebangau. There is a degradation of orangutan habitat in this area due to logging activities carried out by the community. Orangutan, which is one of the species living in this area, was under pressure because its habitat is shrinking. In 2005/2006, illegal logging activities were stopped by the are confused because the orangutans take precedence over them. The understanding that habitat is important for orangutans has not been implicit in their minds. People don't yet realize why orangutan habitat is under pressure, why it's important to protect their area, why they have to change their way of Created from the Bitterness of LifeThere are three villages located in the Punggu Alas area, precisely in Kamipang District. The villages are Jahanjang Village, Karuing Village, and Baun Bango Village. WWF Indonesia Foundation also works in these areas. During 2005-200, in collaboration with several parties, including the Sebangau National Park Office, the Indonesian Institute of Sciences LIPI, Palangkaraya University then conducted several study includes the study of the hydrology of peat, medicinal plants, orangutan population estimation, and the socio-economic conditions of the community around Sebangau. The main recommendations obtained are the importance of protecting rivers, alternative livelihoods other than illegal logging, preventing forest fires by building canal blocking, and environmental services related to ecotourism. From the study of ecotourism potential, the team identified several ecotourism destinations.“Together with all parties involved in conservation activities, we are trying to find common ground that the conservation of orangutans and their habitat can open up many additional income opportunities for the surrounding community. We identified several ecotourism destinations. Punggu Alas is one of the areas that fit into these criteria,” explained Rosenda Kasih, Sebangau Katingan Program Manager, WWF Indonesia the road to ecotourism development is a journey full of challenges. Parties who do not understand and are confused and feel marginalized by the prohibition of illegal logging strongly reject the proposal. They only know shortcuts to earn. They do not understand the risks that destroy livelihoods that occur quickly, including fires, loss of sources of medicines from forests, loss of lakes/swamps where fish ongoing approach is taken to make the community more open and aware of the benefits of increasing the orangutan population for ecotourism opportunities in these three villages. Together with the city government, village government, and the Sebangau Community Forum FORMAS, WWF Indonesia Foundation is making efforts to approach and process direct meetings and negotiations or better known as the Free Prior Informed Consent and risks are discussed with groups that have activities in the Punggu Alas area. Village government, community forums, fishermen, woodworkers, women, youth as well as community leaders are important actors in this process. The head of FORMAS Kamipang, Surahmansyah together with community leaders such as Andi Liany, now serves as the Chairman of the Joint Community Forest Farmers Group “Kapakat Atei” and Jecky, the Head of the Keruing Village Tourism Node, are the main figures who play important roles in the approach and socialization Surahmansyah shared his experience, “Our approach is consistent and continuous. Together, we open the public's perspective. It was not easy work but we know it needs to be done.“ The parties assisted in carrying out survey activities, special training needed to participate in designing an agreement that became a guide for the activities of all communities from these three villages for the Punggu Alas long winding journey happy ending The establishment of an ecotourism village in the Kamipang District was not done like snapping fingers. But more like a winding mountain road, not a straight and socialization are carried out collaboratively through several awareness-raising activities. The community was conveyed intensely about the importance of protecting the surrounding habitat and protecting the orangutans. Assisted to better understand and realize what the benefits are if they protect their area. At this time, capacity-building programs for environmental services, in this case, ecotourism, are provided to the for the introduction of orangutan habitat, the community is trained to conduct wildlife research. They observe the behavior and movements of orangutans to map the orangutan's path. The available feed was observed for fruiting patterns to determine the exact time the orangutans were located. The vegetation that orangutans need is identified to record the orangutans' stopover community also conducts research on the flora and fauna in Punggu Alas. The entire research was carried out to enable them to determine the right place and time of travel, as well as to develop appropriate tour people and village leaders are actively involved in this activity. “While attending the training, I felt very moved and inspired. It turns out that my area has tremendous potential, and I am determined to develop ecotourism in my place,” said Raya, a youth leader who participated in the research training and shared his inspiration during the training. Currently, Raya is one of the tour guides in the area and has a website that helps promote the Punggu Alas for observing wild development of supporting facilities and infrastructure to realize ecotourism is developed. Together with the national park team, village government, tourist nodes, Punggu Alas was ratified as a center for information, research, and nature tourism. Guesthouse and 32 tracking wild orangutan observations were built. Researchers stay at this information center to carry out their research and observation activities. In fact, tour guides and tourists can stay at this information center before they start Punggu Alas is a peat area and does not escape the vulnerability of fire hazards in the dry season, it is necessary to strive for protection to avoid forest and land fires. Securing peat areas with active community involvement, including restoration activities in the form of replanting areas that used to be illegal logging construction of canal blocking is also carried out to maintain the groundwater level and reduce the risk of fire. This canal will also restore burnt vegetation and contribute to increasing forest area. Trees are planted by the community to provide food and nests for orangutans. The community routinely works together to clean river suppressing forest fires, the community conducts patrols to mitigate and adapt to the possibility of fires in their area. Currently, the community continues to carry out patrol activities during the dry research is important because it carried out to maintain the sustainability of this species. The community monitors the stability of its population. Identification and documentation were carried out by several residents with the help of collaborative guidance from all parties who supported the development of the Punggu Alas tourism knot. Documentation of orangutans to determine their identification status and giving names so that they can be involvement of local communities is very important since all things are done to create a sustainable economic alternative. The community needs to have in-depth knowledge about orangutans, both in terms of habitat and other related issues. They must understand why it is important to protect their territory. Armed with awareness and knowledge, the community becomes the main actor in protecting the sustainability of the area. A long approach carried out in a collaborative manner resulted in changes in people's thoughts, attitudes, and behavior. Now the community and other parties are active in conservation activities. They understand that by protecting forests, their habitats, and orangutans, there is new hope that sustains livelihoods. They participate fully in strengthening ecotourism in their villages to strengthen alternative livelihoods. They allocate village areas for ecotourism areas, including being used as village Village, Karuing Village, and Baun Bango Village became the Punggu Alas Tourism Nodes. Most tourists who visit this tourist node are foreign tourists. Since 2015, tourists visiting this area have come from 20 countries. Before the pandemic hit, with an estimated 2-3 visits per month, ecotourism groups could earn around IDR 1,000,000/head/day. The price of a tour package, of course, also depends on the package taken by tourists."We offer research-based orangutan observation activities to tourists because they are very interested in orangutan research," Raya explained the tour packages positive support emerged from the village, sub-district, district, and provincial governments. The government actively assists with the budget for the Regional Revenue and Expenditure Budget. In 2019, the Ministry of Environment and Forestry, the Peat Restoration Agency, and the Tourism Node collaborated in the construction of canal blocking and the construction of infrastructure facilities in the form of two additional guest houses. They also collaborate with several tour operators such as WoW Borneo, Blue Betang, and other private operators to publicize and promote their Tourism will never betray effort. Hotspots decreased in areas where communities worked together to protect forests and did not release their forests. Even based on 2015-2020 hotspot data source KLHK/LAPAN, there have been no forest fires in the Punggu Alas area since is certainly not spared because of the successful restoration of canal blocking, reforestation, and the active participation of the community through the fire care community group conducting patrols in the area. People from the three villages work hand in hand to protect and save the Punggu Alas area and work actively to help the Sebangau National Park HomeworkThe story of the journey of the Punggu Alas knot is a reflection that the community is always rooted and dependent on its life from sustainable natural resources. With the increasing awareness of protecting forests and a very high sense of forest ownership through ecotourism activities, the community is the main actor in implementing orangutan habitat conservation programs and natural resource dream continues. In 2020, Karuing Village received a social forestry permit in the form of a village forest based on the Decree of the Ministry of Forestry and Environment No. 10379/MENLHK-PSKL/PKPS/ the existence of this village forest, the process of community strengthening is increasingly being carried out. The making of tour packages was developed, and the community became more active in preparing a variety of tour packages to attract local and foreign journey is still long, the dreams are still woven. However, the collaboration of all parties and public awareness of protecting the area will make this dream becomes TANPA HENTI MENCIPTAKAN ALTERNATIF MATA PENCAHARIAN BARU“Ternyata hutan yang dalam kondisi bagus memberikan manfaat ekonomi tanpa harus melakukan penebangan kayu secara illegal,” Andi Liany, Kepala Desa Karuing, Kecamatan Kamipang periode Hidrologis Gambut KHG Katingan-Sebangau, yang memiliki luasan total hektar, merupakan ekosistem rawa gambut yang tutupan hutannya masih bagus. Populasi orangutan di KHG Katingan-Sebangau berkisar – individu data PHVA/Population and Habitat Viability Asessment, 2016. Punggu Alas adalah area yang berada di dalam KHG ini dan merupakan salah satu kawasan kantong populasi orangutan di gambut di Kalimantan Tengah kerap kali terbakar dengan faktor pemicu utamanya yang bervariasi. Analisis Global Fire Watch, dalam kurun waktu 5 tahun 2015-2019, menunjukkan titik api terjadi di area lahan gambut dan sebagian besar terjadi di tutupan non-hutan. Secara total hal itu menyumbang sekitar 69% dari luas total area yang terbakar di Kalimantan Tengah. Kebakaran hutan di Borneo menyebabkan hilangnya habitat orangutan. Berdasarkan data hotspot MODIS bersumber dari NASA’s Fire Information for Resource Management System FIRMS mengindikasikan lebih dari hotspots terdeteksi di tahun 2015 dan lebih dari hotspots di tahun 2019 yang berdampak terhadap rusaknya habitat dilakukan bersama Balai Taman Nasional Sebangau, Universitas Palangka Raya dan beberapa pakar orangutan di kawasan Punggu Alas telah dilakukan sejak tahun 2012. Kegiatan fokus pada kajian perilaku orangutan mencakup kegiatan hariannya seperti kegiatan mencari makan, membangun sarang, bersosialisasi, dan pola pergerakan. Habitat orangutan yang ideal akan mendukung kehidupan dan mereka menjadi nyaman sehingga proses reproduksinya berlangsung baik. Ketersediaan pohon pakan, pohon sarang serta tidak adanya ancaman seperti kebakaran lahan gambut menjadi faktor-faktor pendukung yang baik untuk keberlangsungan spesies ini di Punggu Alas. Pada akhir tahun 1990-an di saat perusahaan kayu tutup. Ekosistem gambut Sebangau menjadi akses terbuka sehingga banyak masyarakat sekitar yang melakukan “kerja kayu” di Sebangau. Terjadi degradasi habitat orangutan di kawasan ini karena kegiatan penebangan yang dilakukan oleh masyarakat. Orangutan, yang merupakan salah satu spesies di kawasan ini, menjadi terdesak karena habitat mereka mengecil. Pada sekitar tahun 2005/2006, kegiatan penebangan kayu ilegal dihentikan kebingungan karena orangutan lebih didahulukan dari mereka. Pemahaman bahwa habitat penting untuk orangutan belum tersirat di pikiran mereka. Masyarakat belum menyadari mengapa habitat orangutan terdesak, mengapa penting menjaga kawasan mereka, apa alasan mereka harus menghentikan pola hidup yang mereka jalani selama yang Tercipta dari Kepahitan HidupAda tiga desa yang terletak di kawasan Punggu Alas, tepatnya di Kecamatan Kamipang. Desa tersebut adalah Desa Jahanjang, Desa Karuing, dan Desa Baun Bango. Kawasan ini merupakan beberapa dari sekian tempat yang merupakan titik fokus kinerja Yayasan WWF Indonesia. Bekerja sama dengan berapa pihak, termasuk Balai Taman Nasional Sebangau, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI, Universitas Palangkaraya, kemudian melakukan beberapa kajian pada tahun 2005-2007. Kajian tersebut meliputi kajian hidrologi gambut, tumbuhan obat, estimasi populasi orangutan, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar Sebangau. Rekomendasi utama yang didapatkan adalah pentingnya menjaga sungai, alternatif mata pencaharian selain penebangan kayu secara ilegal, mencegah kebakaran hutan dengan membuat sekat kanal serta upaya jasa lingkungan terkait ekowisata. Dari kajian potensi ekowisata, tim mengidentifikasi beberapa tempat tujuan ekowisata. “Bersama semua pihak yang terlibat dalam kegiatan konservasi, kami berupaya mencari titik temu bahwa konservasi orangutan dan habitatnya dapat membuka banyak peluang pendapatan tambahan untuk masyarakat sekitar. Kami mengidentifikasi beberapa tempat tujuan ekowisata. Punggu Alas adalah salah satu kawasan yang masuk dalam kriteria tersebut,” demikian Rosenda Kasih, Sebangau Katingan Program Manager, Yayasan WWF Indonesia menjelaskan. Namun jalan menuju pengembangan ekowisata merupakan perjalanan yang penuh tantangan. Pihak-pihak yang kurang paham dan bingung serta merasa terpinggirkan dengan larangan penebangan kayu secara ilegal sangat menolak usulan tersebut. Mereka hanya mengetahui cara pintas untuk mendapatkan penghasilan. Mereka kurang paham risiko yang menghancurkan sumber mata pencaharian terjadi dengan cepat, termasuk kebakaran, hilangnya sumber obat-obatan dari hutan, hilangnya danau/rawa tempat berkembang-biaknya terus-menerus dilakukan agar masyarakat lebih terbuka dan mengetahui manfaat bertambahnya populasi orangutan untuk peluang ekowisata di ketiga desa ini. Bersama dengan pemerintah kota, pemerintah desa dan Forum Masyarakat FORMAS Sebangau, Yayasan WWF Indonesia melakukan upaya pendekatan dan proses pertemuan langsung dan negosiasi atau yang lebih dikenal dengan metode Pemberitahuan Atas Dasar Persetujuan Awal Tanpa Paksaan Free Prior Informed Consent. Peluang dan risiko didiskusikan dengan kelompok yang memiliki aktivitas di area Punggu Alas. Pemerintahan desa, Forum Masyarakat, nelayan, pekerja kayu, perempuan, pemuda juga tokoh masyarakat menjadi pelaku penting dalam proses ini. Ketua FORMAS Kamipang, Surahmansyah bersama dengan tokoh masyarakat seperti Andi Liany, sekarang menjabat sebagai Ketua Gabungan Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan “Kapakat Atei” dan Jecky, Ketua Simpul Wisata Desa Keruing merupakan tokoh utama yang berperan penting dalam upaya pendekatan dan Surahmansyah menceritakan pengalamannya, “Pendekatan kami lakukan secara konsisten dan terus menerus. Bersama, kami membuka wawasan masyarakat. Bukan kerja ringan tapi kami tahu ini perlu dilakukan. ”Para pihak membantu terlaksananya kegiatan-kegiatan survei, pelatihan khusus yang diperlukan sampai dengan ikut merancang kesepakatan yang jadi panduan kegiatan semua masyarakat dari tiga desa ini untuk kawasan Punggu Berliku Panjang yang Berujung pada KeindahanPembentukan desa ekowisata di Kecamatan Kamipang bukan dilakukan seperti menjentikkan jari. Ibarat jalan di pegunungan yang berkelok-kelok, bukan jalan yang lurus, begitulah proses ini dan sosialisasi dilakukan secara kolaboratif melalui beberapa kegiatan peningkatan penyadartahuan. Masyarakat disampaikan secara intens mengenai pentingnya menjaga habitat sekitarnya dan melindungi orangutan. Pendampingan bagi mereka untuk lebih memahami dan sadar apa manfaat bila mereka menjaga kawasan mereka. Pada saat ini, program peningkatan kapasitas untuk jasa lingkungan, dalam hal ini ekowisata, diberikan kepada masyarakat. Sementara untuk pengenalan akan habitat orangutan, masyarakat dilatih untuk melakukan riset satwa liar. Mereka mengamati perilaku dan pergerakan orangutan untuk memetakan jalur orangutan. Pakan yang ada diamati pola berbuahnya untuk menentukan waktu yang tepat orangutan berada. Vegetasi yang dibutuhkan orangutan diidentifikasi untuk mencatat tempat persinggahan juga melakukan penelitian terhadap flora dan fauna di Punggu Alas. Keseluruhan riset itu dilakukan untuk memungkinkan mereka menentukan tempat dan waktu wisata yang tepat, serta pengembangan paket wisata yang muda dan tokoh desa terlibat aktif dalam kegiatan ini. “Saat mengikuti pelatihan, saya merasa sangat tergugah dan terinspirasi. Ternyata kawasan saya memiliki potensi luar biasa dan saya bertekad untuk mengembangkan ekowisata di tempat saya,” ujar Raya, tokoh pemuda yang mengikuti pelatihan riset menceritakan inspirasinya saat mengikuti pelatihan. Saat ini, Raya menjadi salah satu pemandu wisata di kawasannya dan memiliki website yang membantu mempromosikan kawasan Punggu Alas menjadi area untuk pengamatan orangutan sarana dan prasarana pendukung untuk merealisasikan ekowisata dikembangkan. Bersama tim taman nasional, pemerintah desa, simpul wisata, Punggu Alas disahkan menjadi Pusat Informasi, Riset dan Wisata Alam. Guest house dan 32 tracking pengamatan orangutan liar dibangun. Para peneliti menetap di pusat informasi ini untuk melakukan kegiatan penelitian dan pengamatan mereka. Bahkan, para pemandu wisata dan wisatawan-pun bisa menginap di pusat informasi ini sebelum mereka melakukan tracking. Karena Punggu Alas adalah kawasan gambut dan tidak luput dari kerentanan bahaya kebakaran di musim kemarau sehingga perlu diupayakan perlindungan agar terhindar dari kebakaran hutan dan lahan. Pengamanan kawasan gambut dengan pelibatan aktif masyarakat, termasuk kegiatan restorasi berupa penanaman kembali area yang dulunya menjadi area penebangan liar. Pembangunan sekat kanal juga dilakukan bertujuan untuk mempertahankan tinggi muka air tanah dan mengurangi risiko kebakaran. Kanal ini juga akan memulihkan vegetasi yang terbakar dan berkontribusi menambah luasan hutan. Penanaman pohon dilakukan oleh masyarakat dengan tujuan untuk menyediakan pakan dan sarang bagi orangutan. Masyarakat secara rutin bergotong-royong membersihkan akses menahan kebakaran hutan, masyarakat melakukan patroli untuk mitigasi dan adaptasi terhadap kemungkinan timbulnya titip api atau kebakaran di kawasan mereka. Sampai saat ini, masyarakat masih terus melakukan kegiatan patroli pada saat musim kemarau. Proses yang tidak kalah penting adalah riset orangutan karena keseluruhan kegiatan yang dilakukan untuk menjaga keberlangsungan spesies ini. Masyarakat memonitor kestabilan populasinya. Identifikasi dan dokumentasi dilakukan oleh sejumlah warga dengan bantuan pengarahan kolaboratif dari semua pihak yang mendukung pengembangan Simpul Wisata Punggu Alas. Pendokumentasian orangutan untuk diketahui status identifikasinya dan pemberian nama agar bisa masyarakat setempat sangat penting karena secara menyeluruh semua hal dilakukan untuk menciptakan satu alternatif ekonomi yang berkelanjutan. Masyarakat perlu memiliki pengetahuan mendalam tentang orangutan, baik dari sisi habitat maupun isu lain yang berkaitan. Mereka harus memahami mengapa penting menjaga kawasan mereka. Berbekal kesadaran dan pengetahuan, masyarakat menjadi pelaku utama penjaga kawasan agar yang panjang dilakukan secara kolaboratif membuahkan perubahan pemikiran, sikap dan perilaku masyarakat. Sekarang masyarakat dan pihak lain aktif pada kegiatan konservasi, Mereka paham dengan menjaga hutan, habitat dan orangutannya, ada harapan baru yang menopang penghidupan. Mereka turut berpartisipasi penuh dalam menguatkan ekowisata di desanya untuk penguatan alternatif mata pencaharian. Bahkan, mereka mengalokasikan kawasan desa untuk kawasan ekowisata, termasuk dijadikan sebagai hutan desa. Desa Jahanjang, Desa Karuing, dan Desa Baun Bango menjadi Simpul Wisata Punggu Alas. Mayoritas wisatawan yang mengunjungi Simpul Wisata ini merupakan wisatawan mancanegara. Sejak tahun 2015, wisatawan yang mengunjungi kawasan ini tercatat berasal dari 20 negara. Sebelum pandemi melanda, dengan perkiraan 2-3 kunjungan per-bulan, kelompok ekowisata bisa memperoleh pendapatan sekitar Rp Harga paket wisata tentunya bergantung juga pada paket yang diambil oleh wisatawan.“Kami menawarkan kegiatan pengamatan orangutan yang berbasis riset pada wisatawan karena mereka sangat tertarik dengan riset orangutan,” Raya menjelaskan paket wisata yang bersambut, dukungan positif muncul dari pemerintah desa, kecamatan, kabupaten hingga provinsi. Pemerintah aktif memberikan pendampingan hingga menganggarkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pada tahun 2019, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Restorasi Gambut dan Simpul Wisata bekerja sama dalam pembuatan sekat kanal dan pembangunan sarana prasarana berupa dua buah guest house tambahan. Mereka juga melakukan kerja sama dengan beberapa operator wisata seperti WoW Borneo, Blue Betang, dan operator pribadi lainnya guna mempublikasikan dan mempromosikan Simpul Wisata tak akan pernah mengkhianati usaha. Titik api menurun di kawasan di mana masyarakat bahu-membahu melindungi hutan dan tidak melepaskan hutannya. Bahkan berdasarkan data hotspot 2015-2020 sumber KLHK/LAPAN, tidak ada kebakaran hutan di kawasan Punggu Alas sejak tahun 2015. Hal ini tentu tidak luput karena berhasilnya kegiatan restorasi pembuatan sekat kanal, penghutanan kembali dan aktifnya masyarakat yang melalui kelompok Masyarakat Peduli Api melakukan patroli di kawasan tersebut. Masyarakat dari tiga desa tersebut bahu membahu menjaga dan menyelamatkan kawasan Punggu Alas dan bekerja dengan aktif membantu kantor Taman Nasional Rumah yang Masih Berlanjut Kisah perjalanan Simpul Wisata Punggu Alas ini merupakan cerminan bahwa masyarakat selalu berakar dan tergantung hidupnya dari sumber daya alam yang lestari. Dengan makin meningkatnya kesadaran menjaga hutan dan rasa memiliki hutan yang sangat tinggi melalui kegiatan ekowisata, masyarakat menjadi pelaku utama pelaksanaan program konservasi habitat orangutan dan pengelolaan sumber daya alam. Mimpi masih terus berlanjut. Tahun 2020, Desa Karuing mendapatkan perijinan perhutanan sosial dalam bentuk hutan desa berdasarkan SK Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup No. 10379/MENLHK-PSKL/PKPS/ Dengan adanya hutan desa ini, proses penguatan masyarakat semakin gigih dilakukan. Pembuatan paket wisata dikembangkan dan masyarakat menjadi lebih aktif menyiapkan variasi paket wisata untuk menggaet wisatawan lokal dan wisatawan masih panjang, mimpi masih dirajut. Namun, kolaborasi semua pihak dan kesadaran masyarakat menjaga kawasannya akan mewujudkan mimpi tersebut.

SocialInclusion. Salah satu filosofi pendiri DSN Group adalah ""Jika perusahaan ingin sejahtera, maka kami harus juga men-sejahterakan masyarakat. Untuk itu DSN Group mengupayakannya dengan cara memberdayakan masyarakat di sekitar operasional perusahaan agar mereka secara bersama-sama menikmati kesejahteraan yang ditawarkan pasar global
Offres d'emploi pour Humanitaire Montréal, QCTrier par pertinence - date13 offres Laval, 3e plus grande ville du Québec, est en profonde transformation. Relevant de la Directrice du bureau de la résilience municipale de Laval, vous élaborez… PostedOffre publiée il y a 7 jourVoir toutes les offres de type Emplois Ville de Laval, QC », Laval » ou Emplois Chef de Division H/F - Laval, QC »Rechercher les salaires Cheffe de division - Sécurité civileConsultez les questions fréquemment posées à propos de Ville de Laval, QC As a Cybersecurity Operations Analyst, you are responsible for solutions owned and monitored by the Security Operations team, performing configuration,… PostedOffre publiée il y a plus de 30 joursVoir toutes les offres de type Emplois CMACGM », Montréal » ou Emplois Analyste H/F - Montréal, QC »Rechercher les salaires Security Operations Analyst/Analyste des opérations de Cybersécurité - Montréal, QCConsultez les questions fréquemment posées à propos de CMACGM Type de contrat Temps plein, permanent. Répondre en temps opportun aux préoccupations et aux questions soulevées par le personnel et créer un plan d’action… PostedOffre publiée il y a 19 jourVoir toutes les offres de type Emplois Croix Rouge Canadienne », Montréal » ou Emplois Comptable H/F - Montréal, QC »Rechercher les salaires Gestionnaire en comptabilité - Montréal, QCConsultez les questions fréquemment posées à propos de Croix Rouge Canadienne Type de contrat Temps plein, permanent. La Croix-Rouge canadienne CRC, organisme sans but lucratif des plus réputés et inspirants au monde, cherche à… PostedOffre publiée il y a 12 jourVoir toutes les offres de type Emplois Canadian Red Cross », Montréal » ou Emplois Comptable H/F - Montréal, QC »Rechercher les salaires Gestionnaire comptabilité - Montréal, QCConsultez les questions fréquemment posées à propos de Canadian Red CrossLes chercheurs d'emploi ont également recherché

Masyarakat & Budaya, Vol. 26, No. 14, Agustus 2022] oleh Rusydan Fathy (Peneliti bidang Sosiologi Perkotaan Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN) "Pertama, tempat semakin direstrukturisasi sebagai pusat konsumsi, karena menyediakan konteks di mana barang dan jasa dibandingkan, dievaluasi, dibeli dan digunakan. Kedua, tempat itu sendiri dalam arti dikonsumsi, terutama secara visual

Program Melestarikan Laut Indonesia Mengelola laut dan ekosistemnya secara berkelanjutan untuk meningkatkan mata pencaharian masyarakat pesisir, melindungi kesehatan laut, dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Peta Lokasi Proyek Jelajahi lokasi proyek Bank Dunia di Indonesia dan filter datanya sesuai kebutuhan Anda. Pencapaian Lihat capaian beberapa proyek Bank Dunia di Indonesia. Open Data Bank Dunia memberikan akses gratis dan terbuka untuk data lengkap mengenai pembangunan dari seluruh dunia, termasuk Indonesia. INDO-DAPOER Indonesia Database for Policy and Economic Research memiliki data sub-nasional hingga 200 indikator pembangunan. Pengolahandata yang digunakan penelitian ini mengenai persepsi dan sikap masyarakat dilakukan tabulasi data, pengolahan data mengenai kearifan lokal dan pembuatan database dilakukan dengan menggunakan software Win AKT 5.55 (Agroecological Knowledge Toolkit For Windows ). Menurut Girda dkk, (2016) Win AKT 5.55 dipergunakan untuk pengolahan data yang akan menghasilkan model atau database Composition de la population active du Canada La population active du Canada selon la définition qu’en donne Statistique Canada est constituée de la population civile âgée de 15 ans et plus à l'exclusion des pensionnaires d'établissements qui est occupée ou en chômage. Les personnes occupées sont celles qui ont un emploi ou une entreprise et les personnes au chômage, celles qui sont sans emploi, sont disponibles pour travailler et recherchent activement du travail. Selon l’Enquête sur la population active EPA, la population active totale du Canada était de 18,7 millions en 2011; les natifs du Canada représentaient 14,4 millions 77,1 % du total et les immigrants, près de 4 millions 21,2 %. Le reste, soit 300 000 personnes 1,7 %, était constitué des immigrants non reçus » membres de la population active, parmi lesquels on compte les travailleurs étrangers temporaires, les étudiants étrangers, les demandeurs d’asile munis d’un permis de travail valide et les autres personnes non incluses dans les catégories des natifs du Canada ou des immigrants de bas de page 2 La figure 1 montre la composition de la population active du Canada pour la population née au Canada et la population immigrante. Au sein de cette dernière, la plupart des personnes actives sont des immigrants de longue date, c’est-à-dire qui ont été reçus plus de dix ans auparavant. Les immigrants reçus très récemment depuis cinq ans ou moins et les immigrants récemment reçus de cinq à dix ans auparavant constituent des proportions beaucoup plus faibles. Figure 1 Composition de la population active du Canada, 2011 Tableau 1 Composition de la population active, selon l’âge et le statut d’immigrant, 2011 En pourcentage % Âge 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65+ Immigrants reçus 2,2 5,1 8,4 9,9 11,7 14,1 14,2 12,5 10,1 7,4 4,3 Très récents 4,5 7,2 17,8 20,9 18,6 13,5 8,9 4,6 2,5 0,9 0,5 Récents 4,7 7,8 10,4 13,4 18,6 18,9 12,6 7,2 3,7 1,6 1,1 De longue date 1,1 4,1 6,0 6,8 8,7 13,1 15,7 15,4 13,2 10,1 5,9 Natifs du Canada 6,9 10,7 11,1 10,6 9,8 10,3 11,9 12,0 8,8 5,0 2,6 Total 5,8 9,6 10,7 10,6 10,3 11,1 12,4 12,0 9,0 5,5 3,0 Source Enquête sur la population active, 2011. Situation récente du marché du travail Les problèmes économiques mondiaux qui se sont présentés au cours des dernières années ont eu des conséquences néfastes pour l’économie et le marché du travail canadiens. Dès le début du ralentissement économique mondial, bon nombre de prévisionnistes ont indiqué à juste titre que le Canada était dans une position solide pour survivre aux difficultés qui se dessinaient; toutefois, les problèmes de rendement structurels éprouvés par les États-Unis, notre principal partenaire commercial, ont néanmoins freiné le rendement économique du Canada, ce qui s’est répercuté sur le marché du travail intérieur. L’examen des deux récessions précédentes qu’a connues le Canada est intéressant. Ces récessions – qui ont commencé en 1981 et en 1990 – présentent des différences dans le rendement du marché du travail lorsqu’elles se sont installées, ainsi que des différences durant leur période de reprise respective. Ces deux exemples historiques peuvent nous aider à comprendre la complexité d’une récession sur le plan de l’ampleur, de la durée et de la reprise. Comparaison avec les récessions précédentes – Taux d’emploi et de chômage Les derniers taux d’emploi et de chômage tirés de l’EPA indiquent que le plus récent ralentissement n’a pas été aussi prononcé que les récessions de 1981 et 1990. Toutefois, ce genre d’analyse dépend beaucoup de la date choisie comme point de départ d’une récession. Pour la présente analyse, nous avons utilisé les sommets d’emploi et les creux de chômage d’avant la récession, février 2008 étant le sommet du taux d’emploi 63,9 % et janvier 2008, le creux du taux de chômage 5,8 %. Figure 2 Taux d’emploi – Canada, mensuel Figure 3 Taux de chômage – Canada, mensuel Version texte Taux de chômage – Canada, mensuel Pendant la récession de 1981, la rapide détérioration du marché du travail a occasionné une hausse du taux de chômage et une chute du taux d’emploi simultanées. Comme l’indiquent les figures 2 et 3, le taux de chômage a fortement augmenté de 5 % et le taux d’emploi a considérablement baissé de 3 % durant les 12 premiers mois de la récession de 1981. La période de 12 mois qui a suivi a été bien meilleure et le rétablissement du marché du travail canadien était bien amorcé 24 mois après le début de la récession. La situation vécue pendant la récession des années 1990 était nettement différente, et même si les premières répercussions sur le marché du travail n’ont pas été aussi graves que pendant la récession de 1981, beaucoup ont qualifié le milieu des années 1990 de période de reprise sans création d’emplois ». On le constate par les taux d’emploi et de chômage qui, quatre ans après le début du marasme des années 1990, n’avaient toujours pas retrouvé les niveaux d’avant la récession. Comme le montrent les figures 2 et 3, les indicateurs du marché du travail révèlent que les conséquences ont été relativement plus faibles pendant la récession de 2008-2009. La hausse du taux de chômage et la baisse du taux d’emploi n’ont pas été aussi marquées que pendant les deux récessions précédentes. En outre, le niveau global des taux d’emploi et de chômage indique que la situation du marché du travail avant le début de la récession était meilleure que celle enregistrée avant les deux récessions antérieures. Malgré la situation relativement meilleure du marché du travail pendant le plus récent ralentissement économique, les récessions ont des répercussions différentes selon la région, le secteur et le groupe actif sur le marché du travail. Les immigrants ont souvent été reconnus comme un groupe vulnérable, qui est plus durement touché par les ralentissements de l’économie et a beaucoup de difficulté à retourner sur le marché du travail après un de bas de page 3 C’est un élément important à prendre en compte dans la conjoncture économique actuelle. Il semble que la récession en 2008-2009 aura très peu d’incidence sur les besoins du marché du travail à long terme; ce seront plutôt les tendances sous-jacentes engendrées par le vieillissement de la population y compris le ralentissement de la croissance de la population active et les nouvelles pénuries de travailleurs spécialisés dans certaines professions et régions qui continueront d’être le facteur clé de l’offre de travailleurs à long terme. L’évolution du marché du travail canadien depuis les années 1980 L’évolution récente du marché du travail canadien peut être divisée en trois périodes. La première, soit de la fin des années 1980 au début des années 1990, a été marquée par une faiblesse généralisée en raison d’un ralentissement économique. Durant cette période, la politique monétaire a freiné délibérément l’économie afin de réduire les pressions inflationnistes. Cette situation a entraîné une baisse de la croissance de l’emploi, caractérisée par des pertes d’emploi généralisées en 1991. Le taux de chômage a fortement augmenté pour atteindre une moyenne annuelle de 11,4 % en 1993. La deuxième période, soit de 1993 à la fin des années 1990, a été marquée par une lente reprise après le ralentissement du début des années 1990. La création d’emplois a été lente et le taux d’activité, faible. La création d’emplois a finalement repris de la vigueur et le taux de chômage a diminué pour atteindre 6,8 % en 2000. Enfin, au début des années 2000, un marché du travail solide associé à un taux d’activité élevé a permis à l’offre et à la demande de travailleurs d’atteindre un certain équilibre, si bien que le taux de chômage est demeuré légèrement supérieur à 7 % pendant la première moitié de la décennie. Un certain resserrement pendant la deuxième moitié de la décennie a fait baisser le taux de chômage à 6 %, avant l’amorce d’une autre récession, en 2009. Figure 4 Taux de chômage au Canada, 1980-2011 Version texte Taux de chômage au Canada, 1980-2011 Examinons plus particulièrement la dernière période. À l’exclusion de la récession de 2008-2009, la croissance de l’emploi était en moyenne de 2 %, alors que la population active augmentait plus lentement, soit de 1,8 % par an. Le taux de chômage a donc diminué pendant la majeure partie des années 2000, une tendance qui devrait se poursuivre dans les années à venir alors que les baby-boomers prendront leur retraite en grand nombre, ce qui entraînera une croissance relativement plus faible de la population active. Le grand nombre de baby-boomers qui atteindront l’âge de la retraite fera augmenter le nombre de départs à la retraite au cours des dix prochaines années. Toutefois, le comportement de la population active peut être difficile à prévoir, et cela s’est manifesté de façon croissante au cours des 15 dernières années, comme le montre le mouvement à la hausse du taux d’activité des travailleurs âgés, à la figure 5. Selon des prévisions antérieures, le marché du travail canadien aurait dû enregistrer plus de départs à la retraite pendant la première décennie des années 2000, mais les prévisionnistes ont eu du mal à saisir le mouvement à la hausse du taux d’activité des travailleurs âgés. Figure 5 Taux d’activité des travailleurs âgés, 1976-2011 Pertanianmerupakan sektor utama mata pencaharian bagi penduduk di dataran rendah. Kegiatan pertanian akan menghasilkan tanaman pangan dan tanaman komoditas. Melansir situs resmi Badan Pusat Statistik di Indonesia pada tahun 2020, terjadi penurunan penduduk yang bekerja di bidang pertanian, adapun jumlahnya yaitu 33,4 juta. Kampung Mutus adalah kampung nelayan di kepulauan Raja Ampat di bagian Timur Indonesia. Lokasi ini terkenal dengan budi daya ikan lautnya. Seorang keturunan Tionghoa bernama Ateng memulainya pada 1989 untuk mencari tongseng atau kerapu merah.“Saya punya kakak bertemu dengan Ateng, dia ajak ke Kampung Mutus. Kebetulan tongseng di sini banyak. Akhirnya kampung ini disebut kampung nelayan. Karena bisa rawat ikan-ikan yang ditangkap di keramba-keramba penampung,” kata Markus Dimara, Kepala Adat Kampung Mutus.“Nelayan sekarang, keluar pagi dengan dua puluh liter bensin paling banyak dapat sepuluh ekor, bahkan ada yang dua ekor. Karena hasil laut semakin waktu semakin berkurang. Karena cara penangkapan yang tidak teratur di masa lalu,” perikanan memiliki peran penting dalam perekonomian Raja Ampat dan juga Indonesia. Tantangan masih berdatangan, yang mempengaruhi kehidupan dan mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada laut. Penangkapan ikan secara berlebihan telah mengurangi pasokan ikan, sepertiga terumbu karangnya berada dalam keadaan terdegradasi, sampah laut meningkat, dan separuh area mangrovenya tidak dalam segara biru di Timur Indonesia, peluang bumi masih ada dan warga masih bisa konservasi – Warga Yensawai Barat, Raja Ampat, menyiapkan bibit mangrove untuk ditanam. Mangrove melindungi pesisir dari gelombang tinggi dan abrasi. Perlu kegiatan konservasi yang lebih kuat agar deforestasi mangrove dapat dihentikan, misalnya perluasan moratorium alih fungsi hutan primer hingga meliputi seluruh ekosistem mangrove. Foto Donny Fernando/National Geographic ekosistem laut dan pesisir adalah kunci bagi kesejahteraan IndonesiaAwaludin Noer Ahmad, atau akrab disapa Wawan Mangile, koordinator program untuk wilayah Kepala Burung Papua di Yayasan Konservasi Nusantara menyatakan bahwa ketika pandemi muncul, ada banyak celah untuk bertahan di Raja Ampat.“Masyarakat tahu ada pandemi, tapi tidak takut lapar. Itu salah satu indikasi bahwa memang mereka percaya bahwa konservasi adalah jalan nyata. Jika sektor wisata mati total, pasti kita sengsara. Tapi masyarakat kampung di Raja Ampat bilang kami masih punya ikan, sagu, dan kasbi. Yang kami tidak punya hanya uang,” Wawan, kearifan di Raja Ampat telah lama mengandung nilai konservasi. Salah satu contohnya adalah sasi, yang bertujuan untuk mengatur kelestarian sumber daya alam. Khususnya di laut, biota tidak boleh ditangkap pada kurun waktu tertentu, sebelum dipanen secara bersamaan. Tradisi ini menjaga agar biota bisa berkembang biak dan tidak punah.“Misalnya saat sasi mereka ambil teripang ada ukuran yang dibatasi, tidak diambil semua. Kemudian mereka butuh waktu 5-6 tahun untuk buka lagi,” kata Wawan. “Ketika dibatasi, mereka bisa buka tiap tahun. Mereka juga tidak ambil lobster yang punya telur. Sehingga populasi teripang dan lobster terjaga.”Kearifan ini dapat diterapkan di wilayah lain di Nusantara. Laporan baru Bank Dunia yang berjudul Laut untuk Kesejahteraan juga menyebutkan bahwa Pemerintah dapat memberikan hak panen kepada masyarakat tertentu di pesisir, atau kepada perusahaan, dalam jumlah dan batas tangkapan tertentu. Prinsip berbasis hak ini dapat mendorong pengelolaan yang lebih baik dan meningkatkan produktivitas pariwisata berkelanjutan dan mengurangi sampah plastikBelajar sejak dini Usal kanan berkomitmen mendidik anak-anak Pulau Arborek. Kegiatan belajar-mengajar masih terus dilakukan walau terdapat ketertinggalan dari segi fasilitas. Usal merupakan salah satu guru sukarela di Kitong Bisa. Mereka mengajarkan nilai kehidupan termasuk konservasi dan pariwisata dengan metode bahasa Inggris setiap Sabtu dan Minggu. Foto Donny Fernando/National Geographic laut Raja Ampat dan kehidupan bawah laut yang mempesona menjadikan pariwisata sebagai salah satu kontributor utama ekonomi lokal. Ini juga berarti pandemi COVID-19 sangat berdampak pada pariwisata di Raja Ampat, khususnya bagi pemilik dive center atau homestay kecil. Sekalipun ada wisatawan, mereka lebih memilih resort — penginapan berfasilitas mewah. Arborek Dive Shop milik Githa Anasthasia dan Marsel Mambrasar saja selama pandemi baru kedatangan 15 tamu.“Orang lebih suka menginap di resort yang proper ketimbang tinggal dengan masyarakat lokal, walaupun tidak seratus persen,” ucap jumlah kedatangan turis turun drastis, pandemi memberi banyak pelajaran bagi Marsel dan Githa, terkait makna pariwisata yang berkelanjutan. Mereka bisa bertahan dengan mata pencaharian lain, seperti berkebun atau mengolah ikan laut menjadi produk ikan asin.“Itu yang harus kita pelajari dari pariwisata berkelanjutan, sekalipun tanpa wisatawan,” pungkas jumlah wisatawan menurun di Raja Ampat, pencemaran sampah plastik masih terus terjadi. Menurut Marsel, sumbernya tak lepas dari Sorong, kota terbesar di Papua Barat, dan Waisai, kota kecil di bagian selatan Pulau Waigeo di Kepulauan Raja ini dibenarkan juga oleh Wawan. “Biak sudah menetapkan aturan tidak boleh pake kantong kresek, jadi kembali ke noken,” mengacu pada tas anyaman tradisional yang terbuat dari serat kayu atau Laut untuk Kesejahteraan menyebutkan bahwa selain inisiatif seperti pembersihan pantai, diperlukan insentif untuk inovasi dan daur ulang plastik, serta strategi untuk mengurangi penggunaan plastik. Selain itu, kegiatan restorasi dan peningkatan infrastruktur desa dapat menciptakan lapangan kerja sekaligus meningkatkan ketahanan Anasthasia, warga yang aktif dalam pelestarian, usai menyelam untuk mengamati perilaku pari manta. Pelestarian alam membawa manfaat ekonomi dan mata pencaharian bagi masyarakat..Mendorong ekonomi laut berkelanjutan melalui kolaborasiBank Dunia mendukung upaya pemerintah untuk mewujudkan ekonomi laut berkelanjutan – atau strategi ekonomi biru. Strategi ini berfokus pada investasi untuk meningkatkan mata pencaharian masyarakat pesisir dan memulihkan ekosistem kritis, Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang – investasi selama 20 tahun bagi pengelolaan dan penelitian terumbu karang, serta Program Pembangunan Pariwisata Terintegrasi dan Berkelanjutan P3TB , yakni sebuah platform untuk perencanaan dan infrastruktur pariwisata yang terintegrasi dan Dunia juga memberikan dukungan teknis melalui Indonesia Sustainable Oceans Program, melengkapi upaya peningkatan kapasitas dan basis pengetahuan terkait ekonomi berbagai upaya di atas dan berbagai kegiatan lainnya, Indonesia dapat mewujudkan ekonomi biru untuk generasi sekarang dan ini diadaptasi dari artikel majalah National Geographic Indonesia edisi khusus laut, Mei 2021, berjudul “Rencana Tuhan di Raja Ampat”, yang ditulis oleh Fikri Muhammad. Artikel ini ditulis dengan kemitraan antara Bank Dunia dan National Geographic Indonesia. Foto oleh Donny Fernando. Matapencaharian masyarakat Natuna yang berhubungan erat dengan keberlangsungan sumber daya laut menjadi cara bertahan hidup dan penopang kehidupan ekonomi mereka.
Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia – sebuah negara kepulauan yang beragam dengan lebih dari 300 kelompok etnis – telah mencapai pertumbuhan ekonomi yang mengesankan sejak berhasil mengatasi krisis keuangan Asia pada akhir ini, Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, ekonomi terbesar kesepuluh di dunia dalam hal paritas daya beli. Indonesia juga telah meraih capaian luar biasa dalam pengurangan kemiskinan dengan menurunkan lebih dari separuh angka kemiskinan sejak tahun 1999 menjadi di bawah 10 persen pada tahun 2019 sebelum pandemi COVID-19 melanda. Tahun Ini Indonesia memegang Presidensi G20, mendorong semua negara anggotanya untuk bekerja sama dalam mencapai pemulihan yang lebih kuat dan lebih berkelanjutan dari berbagai dampak pembangunan ekonomi Indonesia mengikuti rencana pembangunan jangka 20 tahun, dari tahun 2005 hingga 2025. Rencana tersebut dibagi menjadi rencana jangka menengah 5 tahun yang disebut RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, masing-masing dengan prioritas pembangunan yang berbeda. Rencana pembangunan jangka menengah yang berjalan saat ini merupakan tahap terakhir dari rencana pembangunan jangka 20 tahun tersebut di atas. Rencana pembangunan ini bertujuan untuk memperkuat perekonomian Indonesia dengan meningkatkan modal manusia dan daya saing di pasar kondisi perekonomian yang terdampak oleh pandemi, status Indonesia berubah dari negara berpenghasilan menengah ke atas menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah mulai Juli 2021. Pandemi juga secara sebagian mengurangi kemajuan terakhir dalam pengurangan kemiskinan, dari angka terendah yang pernah dicapai yaitu 9,2 persen pada September 2019 menjadi 9,7 persen pada September proses pemulihan perekonomian, pada tahun 2022 pertumbuhan PDB Indonesia diperkirakan mencapai 5,1 persen , didukung oleh meningkatnya ekspor komoditas serta kebijakan fiskal yang bersifat akomodatif untuk mengatasi pandemi. Namun demikian, kondisi global yang semakin menantang dan berbagai dampak berkepanjangan dari COVID-19 dapat menghambat pemulihan tersebut. Indonesia mampu mencatatkan keberhasilan dalam mengurangi angka stunting dari 37 persen pada tahun 2013 menjadi 24,4 persen pada tahun 2021. Tapi masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan pembangunan modal manusia Indonesia yang kuat dan produktif. Indeks Modal Manusia Bank Dunia mengungkap bahwa hilangnya pembelajaran yang disebabkan oleh penutupan sekolah-sekolah selama pandemi COVID-19 akan berdampak pada generasi penerus Dunia mendukung dilaksanakannya tanggap darurat COVID-19 oleh pemerintah Indonesia, termasuk upaya penguatan unsur-unsur tanggap darurat pandemi, dukungan bagi program vaksinasi COVID-19 gratis pemerintah, peningkatan bantuan sosial maupun sistem perawatan kesehatan, serta berbagai tindakan yang diambil untuk memperkuat ketahanan sektor keuangan. Di Indonesia, perubahan iklim dapat berdampak pada ketersediaan air, kesehatan dan gizi, pengelolaan risiko bencana, serta pembangunan wilayah perkotaan – khususnya di kawasan pesisir, yang berimplikasi pada kemiskinan dan memiliki hutan hujan tropis ketiga terluas di dunia 94,1 juta hektare, dan merupakan tempat bagi lahan gambut terbesar di dunia 14,9 juta hektare serta hutan bakau 3,31 juta hektare. Beragam sumber daya alam tersebut menyimpan karbon dalam jumlah yang sangat besar yang dapat mengurangi berbagai dampak perubahan iklim, sangat penting bagi kelangsungan mata pencaharian rakyat Indonesia, serta mendukung pembangunan jangka panjang Indonesia. Bank Dunia mendukung berbagai upaya Indonesia untuk mengurangi dampak perubahan maupun beradaptasi terhadap iklim dalam rangka menjalankan suatu aksi iklim yang berdampak di sektor-sektor seperti tata guna lahan, kelautan, dan energi, serta dengan menggerakkan keuangan untuk iklim climate financing. Adapun kegiatan Bank Dunia termasuk dukungan terkait program pemerintah Indonesia dalam Rehabilitasi Mangrove Nasional serta perancangan dan penerapan beberapa instrumen penetapan harga karbon carbon pricing karena peran pentingnya dalam meningkatkan pendanaan bagi berbagai aksi iklim. Pembaharuan Terakhir 5 April 2022
Danjuga ke tingkat individu untuk membangun upaya kolektif yang berarti dan partisipasi mendalam dari semua tingkat untuk mengatasi tantangan global, kata Maylin. Komisi AIPI tersebut juga mengusulkan agar G20 dapat memastikan keberlanjutan dan ketahanan masyarakat dan bumi untuk kehidupan yang lebih baik. Baca juga: Presiden Jokowi dorong G20

Upaya Ini Bertujuan untuk Meningkatkan Ketahanan Masyarakat Pesisir di IndonesiaWashington, DC, 7 Juni 2022. Dewan Direktur Eksekutif Bank Dunia pada tanggal 20 Mei 2022 menyetujui proyek untuk mendukung Pemerintah Indonesia meningkatkan pengelolaan mangrove sekaligus mengembangkan mata pencaharian bagi Mangrove untuk Ketahanan Pesisir akan berfokus pada penguatan kebijakan dan lembaga dalam mengelola dan merehabilitasi mangrove, meningkatkan pengelolaan mangrove secara berkelanjutan, serta meningkatkan berbagai peluang mata pencaharian bagi masyarakat pesisir yang hidup di sekitar hutan mangrove di beberapa daerah.“Keberhasilan proyek ini akan berkontribusi signifikan terhadap pencapaian sasaran pengurangan emisi Indonesia yang tercantum di dalam Nationally Determined Contributions NDC, serta sasaran kita untuk menjadikan sektor kehutanan dan penggunaan lahan sebagai Net Sink pada tahun 2030. Upaya restorasi dan konservasi mangrove sangat penting bagi pencapaian sasaran tersebut, dan merupakan wujud nyata kuatnya komitmen global Indonesia untuk beradaptasi terhadap dan memitigasi berbagai dampak perubahan iklim”, kata Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik seluas sekitar 3,4 juta hektar, 20 persen dari seluruh mangrove yang ada di dunia berada di Indonesia dan mencakup 40 dari 54 spesies mangrove sejati true mangroves – saat ini tercatat memiliki keanekaragaman terkaya di dunia. Hutan mangrove Indonesia menyimpan 3,14 miliar ton CO2 dikenal dengan sebutan “blue carbon”, atau setara dengan emisi Gas Rumah Kaca yang dihasilkan oleh sekitar 2,5 miliar kendaraan bermotor yang dikendarai selama setahun. Mangrove merupakan komponen utama mata pencaharian masyarakat pesisir, serta menjadi sumber penting untuk makanan dan penghasilan. Sekitar 55 persen dari total biomassa perikanan tangkap di Indonesia merupakan spesies yang bergantung kepada mangrove, dengan produksi tahunan bernilai US$825 juta. Mangrove juga memiliki nilai pariwisata hingga US$30 juta per tahunnya. Penelitian Bank Dunia baru-baru ini mengungkap bahwa mangrove di Indonesia memiliki nilai total tahunan sebesar US$ hingga US$ per nilai yang demikian besar, mangrove di Indonesia perlu direhabilitasi. Dalam 20 tahun terakhir, Indonesia kehilangan hampir hektar mangrove setiap tahunnya lebih luas dari kota Paris, disebabkan oleh faktor-faktor tidak langsung, termasuk permintaan global akan beragam produk, seperti misalnya udang yang kerap dibudidayakan di kawasan yang sebelumnya ditumbuhi oleh mangrove serta kurangnya pemahaman mengenai nilai ekonomis pesisir yang bergantung kepada mangrove untuk ketahanan hidup dan mata pencaharian termasuk di antara mereka yang paling rentan di Indonesia. Mereka memiliki akses yang terbatas kepada layanan umum seperti sekolah menengah, air yang aman digunakan, listrik, dan tranportasi, dan mengalami kemiskinan 1,27 persen lebih tinggi daripada masyarakat yang tinggal di pedesaan bukan pesisir. Saat ini dengan adanya krisis yang disebabkan oleh COVID-19, angka kemiskinan kemungkinan besar meningkat – menekankan perlunya kebijakan dan investasi yang ditargetkan untuk mencapai masyarakat pesisir.“Bank Dunia memuji langkah berani yang telah diambil oleh Pemerintah Indonesia untuk mengendalikan laju pengurangan mangrove serta merehabilitasi kawasan mangrove yang terdegradasi dan terdeforestasii, dan oleh karena itu kami siap mendukung upaya-upaya tersebut. Konservasi ekosistem mangrove Indonesia yang sehat dan upaya rehabilitasi dengan sasaran yang jelas dan menggunakan praktik-praktik baik secara global dapat menghasilkan keuntungan ekonomi yang signifikan bagi negara dalam bentuk ketahanan pesisir, produktivitas sektor perikanan, potensi pariwisata, dan mitigasi dampak perubahan iklim. Melalui proyek ini, Bank Dunia mendukung Indonesia meningkatkan pembangunan hijau yang berketahanan dan inklusif bagi masyarakat pesisir, di antaranya melalui penguatan kelembagaan serta kebijakan di tingkat nasional dan daerah dalam mengelola mangrove, juga menambahkan nilai mangrove dengan memungkinkan adanya skema pembayaran blue carbon yang terkandung di dalam mangrove,” ucap Satu Kahkonen, Direktur Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste. “Dengan mengintegrasikan pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan ke dalam perencanaan di tingkat desa dan peningkatan peran perempuan dalam pengelolaan mangrove serta kepemimpinan di desa, kami berharap untuk menyaksikan terjadinya peningkatan tutupan mangrove serta pengurangan laju hilangnya mangrove.”Proyek ini dirancang untuk mendukung Program Rehabilitasi Mangrove Pemerintah yang ditargetkan untuk merehabilitasi mangrove seluas hektar hingga tahun 2024. Pada tahap awal, proyek ini difokuskan di empat provinsi yang memiliki porsi kawasan mangrove yang telah ada maupun yang terdegradasi, yaitu di Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sumatera Utara, dan Riau. Model peningkatan konservasi, rehabilitasi, serta peningkatan mata pencaharian yang diterapkan pada proyek ini berpotensi untuk direplikasi di seluruh wilayah Indonesia. Proyek ini juga mendukung Rencana Aksi Iklim Kelompok Bank Dunia Tahun Fiskal 2021-25 serta Strategi Gender TF 2016-23, terutama dalam hal tujuan strategis terkait peluang ekonomi serta peningkatan suara dan agensi informasi lebih lanjut, kunjungi Ikuti kamiBankDunia

.
  • eshl7am4t1.pages.dev/568
  • eshl7am4t1.pages.dev/535
  • eshl7am4t1.pages.dev/76
  • eshl7am4t1.pages.dev/331
  • eshl7am4t1.pages.dev/428
  • eshl7am4t1.pages.dev/768
  • eshl7am4t1.pages.dev/202
  • eshl7am4t1.pages.dev/415
  • eshl7am4t1.pages.dev/978
  • eshl7am4t1.pages.dev/110
  • eshl7am4t1.pages.dev/853
  • eshl7am4t1.pages.dev/271
  • eshl7am4t1.pages.dev/347
  • eshl7am4t1.pages.dev/779
  • eshl7am4t1.pages.dev/839
  • mata pencaharian masyarakat global